1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial menyebutkan bahwa bahwa sistem jaminan sosial
nasional merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian
perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Untuk mewujudkan
tujuan sistem jaminan sosial nasional perlu dibentuk badan penyelenggara yang
berbentuk badan hukum berdasarkan prinsip kegotongroyongan, nirlaba,
keterbukaan, kehatihatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat
wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan dana jaminan sosial seluruhnya untuk pengembangan
program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta. Sebagai Badan
Penyelenggarakan Jaminan Sosial yang disediakan oleh negara. Terdapat berbagai
masalah yang terjadi. Mulai dari kurangnya pelayanan, berbagai komplain yang
dialami oleh pasien dan sebagainya. Untuk itu diperlukan berbagai upaya serta
solusi bagi BPJS untuk dapat memberikan kinerja yang baik untuk masyarakat.
Dalam makalah ini, akan dibahas mengenai Masalah Defisit Pelaksanaan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan di
Indonesia serta Analisis Masalahnya.
2.
MASALAH DEFISIT PELAKSANAAN BPJS KESEHATAN DAN KETENAGAKERJAAN
Dalam
pelaksanaannyaa di Indonesia, BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan memiliki
berbagai masalah. Sejumlah persoalan masih dihadapi Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Kesehatan. Dari mulai kesenjangan antara suplai pendanaan dan
pengeluaran hingga ketidaksiapan struktur fasilitas kesehatan. Semua itu bisa
mengganggu pelayanan terhadap pasien peserta jika tidak diatasi.
Anggota
Dewan Jaminan Sosial Nasional Ahmad Ansori mengatakan, salah satu persoalan
dasar dalam BPJS yakni ketidaksesuaian suplai dengan biaya yang dikeluarkan
untuk membayar klaim. BPJS mengusulkan agar iuaran premi bagi penerima bantuan
iuran (PBI) sebesar Rp 36 ribu per bulan namun yang ditetapkan pemerintah hanya
Rp 23 ribu. "Ini akar masalahnya," ujarnya dalam diskusi yang
digelar Aliansi Jurnalis Indonesia, FES dan DJSN kemarin di Jakarta. Namun
begitu, kata Ansori, berdasarkan Undang-Undang, semua kekurangan tersebut telah
ditanggung oleh pemerintah. DPR dan pemerintah telah menyepakati dana talangan
yang bisa digunakan jika uang BPJS tidak mencukupi untuk membayar. Menurutnya,
kekurangan BPJS Kesehatan itu sudah bisa diprediksi dari awal. Ia pun tak mau
menyebutnya defisit lantaran semua perhitungan yang telah diperhitungkan.
Ansori lebih melihatnya sebagai ketidakcukupan. "Sistem ini tidak
rugi, tapi persoalannya apakah mau seperti ini terus?" tanyanya. Ansori
pun berpandangan prinsip gotong royong yang seharusnya menjadi dasar dalam
sistem BPJS Kesehatan tidak berjalan semestinya. Saat ini, banyak peserta BPJS
yang sakit mendaftar. Padahal, orang-orang yang masih sehat juga
mendaftar. Sehingga memberikan subsidi silang bagi yang sakit. "Kita
targetkan sampai seluruh penduduk terdaftar pada 2019, suplainya harus
mendekat," kata Ansori.
Ia
juga menyoroti keterlambatan pembayaran BPJS. Menurutnya, keterlambatan bisa
menyebabkan pelayanan berkurang. Persoalan lain yang tak kalah penting yakni
kesiapan dari fasilitas kesehatan. Jumlah peserta BPJS, kata dia, tumbuh dengan
cepat. Sementara pertumbuhan rumah sakit tak bisa mengimbangi. AKibatnya bisa
berpengaruh terhadap penumpukan pasien. Kepala
Grup Penelitian dan Pengembangan BPJS Kesehatan Togar Siallagan mengatakan,
peningkatan rumah sakit juga harus diimbangi kualitas. Karena BPJS ingin
agar RS kerja sama memenuhi standar akreditasi yang telah
ditetapkan. Ia juga menyoroti perilaku peserta BPJS yang bisa mengganggu
pelayanan. "Begitu sembuh sudah tidak lagi bayar," tuturnya. (Teguh.
2016).
Salah
satu yang mengalami kesulitan menggunakan kartu BPJS adalah Ardina. Perempuan
yang bekerja di salah satu perusahaan di Sidoarjo itu menderita sakit selama
beberapa bulan terakhir. Sebuah benjolan di perutnya terasa semakin nyeri. Dia
khawatir benjolan tersebut menjadi pertanda penyakit yang lebih serius seperti
kanker. Namun, hingga kini Ardina hanya berobat ke puskesmas. Itu pun hanya
untuk pemeriksaan dasar. Penyebabnya, dia belum memegang kartu BPJS. Dia
bukannya belum mendaftar. Ardina rutin membayar iuran BPJS sejak tahun lalu.
Namun, hingga kini kartu tersebut belum bisa dipakai. ”Katanya baru bisa
dipakai Juni nanti,” ujarnya.
Ardina
mengaku telah mendaftar BPJS mandiri pada April 2014. Ketika itu, dia
mendatangi kantor BPJS di Jalan Dharmahusada Indah No 2, Surabaya. Berkasnya
telah lengkap, tetapi pengurusan tidak segera selesai. Dia pun meninggalkan
kantor untuk melanjutkan urusan. Saat itu, Ardina mengira kartunya belum jadi
dan akan kembali mendaftar lain waktu. Musibah pun terjadi. Pada Oktober 2014,
dia mengalami kecelakaan. Ardina lalu kembali ke kantor BPJS untuk mengurus
kartu. Dia sangat kaget saat mendapat informasi dari petugas bahwa kartunya
terdaftar sejak April 2014. Namun, kartu itu nonaktif lantaran sudah enam bulan
iurannya tidak terbayar. ”Tidak ada pemberitahuan sudah terdaftar. Kartu juga
tidak dikirim, tapi premi sudah jalan,” katanya.
Akhirnya,
Ardina harus membayar tunggakan Rp 800 ribu untuknya dan sang anak. Perempuan
berusia 26 tahun itu pun pasrah. Tidak berselang lama, perusahaan tempatnya
bekerja yang bergerak di bidang pelayaran mewajibkan seluruh karyawan
menyerahkan data untuk pendaftaran BPJS. Ardina tergolong pekerja yang mutasi
atau pengalihan dari BPJS mandiri ke badan usaha. Dia lalu menyerahkan semua
berkas dan nomor BPJS lama. Saat itu Desember 2014. Kartu baru jadi empat bulan
setelahnya. Yakni, Maret. Kartu memang sudah di tangan, tetapi Ardina kembali
harus gigit jari. Kartu tersebut belum bisa dipakai. Bagian human resources
development (HRD) perusahaannya angkat tangan. Ardina menghubungi kantor
BPJS. Petugas beralasan, mutasi memerlukan waktu lebih lama. Dia diminta
menunggu hingga tiga bulan lagi. ”Katanya Juni baru bisa. Benjolan di perut ini
saya biarkan dulu. Padahal, kata dokter harus diangkat. Saya tunda sampai kartu
aktif,” ungkapnya.
Penantian
selama setengah tahun itu memberatkan Ardina. Sebab, gajinya terus terpotong.
Tapi, dia belum pernah merasakan manfaat BPJS. Padahal, iuran yang dia bayarkan
secara mandiri sejak April juga belum terhitung. Jika periksa ke puskesmas,
untuk penyakit ringan seperti flu dan tekanan darah pun, dia harus membayar
sendiri. ”Sedikit mangkel. Saya harap bisa lebih profesional seperti asuransi
swasta yang lain. Mutasi juga bisa lebih cepat,” tegas Ardina. Wakil Ketua
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jatim Gunawan Heribertus mengatakan,
bukan hanya pekerja yang kelimpungan dengan BPJS. Sebab, sejak diberlakukannya
program BPJS Kesehatan pada awal tahun, banyak pengusaha yang buru-buru
mendaftarkan karyawannya. Jumlah perusahaan yang sudah terdaftar di BPJS
Kesehatan sekitar 78 persen dari total 9.466 badan usaha di Surabaya.
Namun,
dia mengakui, banyak perusahaan yang mengalami kendala dalam menerapkan program
tersebut. Terutama perusahaan-perusahaan yang memiliki asuransi mandiri selain
jaminan sosial ketenagakerjaan (jamsostek). Sebab, kontrak perusahaan dengan
asuransi mandiri tidak bisa diputus di tengah jalan. Akhirnya, banyak perusahaan
yang meminta penundaan pendaftaran. ”Butuh waktu untuk menyelesaikan kontrak
tersebut,” ungkapnya. Tidak hanya itu. Masalah lain yang muncul adalah masih
ada hal yang perlu diselesaikan oleh BPJS Kesehatan dan perusahaan. Yakni,
beban iuran. Dia mencatat ada sekitar 250 perusahaan yang kini bermasalah
terkait dengan pelayanan kesehatan. Misalnya, perusahaan yang telah terdaftar
pada Januari. Tagihan iuran selalu masuk untuk jaminan kesehatan hingga bulan
ini. Tetapi, kartu tersebut belum diterima para karyawan. Apindo mencatat, ada
lima permasalahan BPJS Kesehatan. Pertama, sistem pendaftaran sangat lama.
Kedua, lokasi pelayanan BPJS tidak terakomodasi dengan baik. Ketiga, penagihan
sistem komputerisasi. Keempat, pelayanan rumah sakit. Kelima, hubungan industrial
yang kurang bagus antara pengusaha dan karyawan. Dia menyebutkan, dua masalah
yang paling krusial di antara lima hal tersebut adalah pelayanan pendaftaran
dan rumah sakit. Untuk pendaftaran saja, satu perusahaan setidaknya memerlukan
waktu sekitar tiga jam. Banyak persoalan yang muncul saat itu. Misalnya, data
karyawan hilang. Padahal, data tersebut telah dikirim ke pihak BPJS. ”Sering
kali petugas BPJS meminta data lagi. Saya melihat sumber daya manusia (SDM)-nya
kurang profesional,” katanya.
Begitu
pula masalah pelayanan rumah sakit. Banyak karyawan yang terdaftar sebagai
peserta BPJS Kesehatan, tetapi ditolak saat berobat ke rumah sakit. Ada juga
karyawan yang sudah terdaftar, tetapi belum mendapatkan kartu BPJS Kesehatan.
Akibatnya, saat berobat, karyawan tidak bisa mengajukan klaim. Padahal, iuran
terus diterima BPJS Kesehatan. Masalah tersebut akhirnya berimbas pada hubungan
industrial yang kurang bagus. Sebab, tuntutan karyawan hanya bisa dilakukan
kepada perusahaan. Padahal, urusan teknis merupakan tanggung jawab BPJS
Kesehatan. Apindo telah berkoordinasi dengan BPJS Jatim wilayah VII. Hingga
akhirnya, BPJS memberikan kesempatan kepada Apindo untuk menyosialisasikan
pendaftaran elektronik data badan usaha (e-dabu) pada 13 April lalu. Setelah itu,
dia berharap diikuti dengan perbaikan pelayanan rumah sakit. ”Upaya Apindo
sendiri untuk mendorong program BPJS dengan melakukan sosialisasi tersebut,”
ujarnya.
Belum
selesai masalah BPJS Kesehatan, Gunawan dan para pengusaha lain harus
menyiapkan diri menerapkan BPJS Ketenagakerjaan. Sebenarnya, program BPJS
Ketenagakerjaan cenderung berjalan lancar. Hanya, di dalam BPJS Ketenagakerjaan
ada program baru yang belum dipahami para pengusaha. Yaitu, jaminan dana
pensiun. Sebelumnya, BPJS Ketenagakerjaan hanya mengatur jaminan perlindungan
tenaga kerja, jaminan hari tua, dan jaminan kematian. ”Kalau ada keputusan dana
pensiun, belum ada kejelasan undang-undang (UU) tentang hal itu,” keluhnya. Bahkan,
aturan yang mewajibkan seluruh perusahaan mendaftarkan karyawannya sebagai
peserta BPJS Ketenagakerjaan belum tersosialisasikan dengan baik. ”Kami sudah
mendengar kabar itu. Tapi, petunjuk pelaksanaan (juklak) seperti apa, kami juga
belum punya informasi yang jelas dari BPJS,” ungkapnya.
Meski
begitu, Gunawan mengaku siap jika perusahaannya harus mendaftar sebagai peserta
BPJS Ketenagakerjaan. Namun, untuk dana pensiun, pemerintah harus menjelaskan
kegunaannya bagi perusahaan swasta. Sebab, selama ini dana pensiun hanya
diperuntukkan pegawai negeri sipil (PNS). Masalah lain yang belum klir adalah
iuran dana pensiun. Apakah iuran tersebut berlaku untuk seluruh karyawan, baik
lama maupun baru? Jika tidak ada kejelasan, dikhawatirkan muncul konflik
internal di perusahaan. Misalnya, karyawan yang sudah 10 tahun bekerja dan
karyawan baru sama-sama mendapat iuran dengan waktu yang sama. Jika itu
terjadi, akan ada kesenjangan sosial. ”Karyawan lama bisa protes. Jadi, harus
ada kejelasan,” tambahnya. Sementara itu, Ketua Kamar Dagang dan Industri
(Kadin) Surabaya Jamhadi berharap semua pihak ikut memahami kesulitan
pengusaha. ”Pengusaha memang tidak boleh melupakan kewajiban. Tapi, yang buruh
jangan ngamukan. Pemerintah juga jangan mahal-mahal tarifnya,” ujarnya.
Dia mengatakan, tingginya upah minimum kota (UMK) tahun ini cukup menyulitkan
pengusaha. Sebab, kenaikan UMK otomatis membuat gaji naik. Namun, tingkat
produktivitas buruh di Indonesia masih rendah. Menurut dia, angka produksi di
Indonesia tidak mampu bersaing dengan negara ASEAN lain. Dia lantas mengutip
data dari International Labour Organization (ILO) yang menyatakan bahwa
produktivitas tenaga kerja Indonesia berada di peringkat kelima. ”Ongkos naik
terus, tapi produktivitas sama,” ucapnya.
Berdasar
data ILO, produktivitas tertinggi di ASEAN diduduki Brunei dan Singapura yang
mencapai 100 persen. Disusul Malaysia dan Thailand di kisaran 15–33 persen.
”Bandingkan dengan Indonesia yang hanya 9,5 persen,” katanya. Masalahnya, upah
per bulan di Indonesia lebih besar daripada Tiongkok, Vietnam, Kamboja, dan
Myanmar. Jamhadi mengungkapkan, sebenarnya pihaknya tidak risau jika BPJS
mewajibkan pengusaha mendaftarkan karyawannya. Namun, dia meminta waktu. Sebab,
ada perusahaan yang telah bekerja sama dengan asuransi swasta lain. Bahkan,
kerja sama itu berlaku hingga akhir tahun ini. Ada pula badan usaha yang punya
klinik sendiri atau mengelola jaminan kesehatan dengan menggandeng rumah sakit
swasta. Selama ini, perusahaan bisa langsung klaim jika ada kejadian. Namun,
dengan BPJS, perusahaan diwajibkan mengikuti rujukan berjenjang. ”Ada
perusahaan yang berasumsi BPJS memberatkan. Takut harus membayar dua kali. Ke
asuransi swasta dan pemerintah,” ucapnya. Selain itu, kewajiban membayar dua
tagihan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan dianggap membebani perusahaan.
Terutama yang keuangan badan usahanya tidak sehat. Belum lagi ada kesepakatan
antara BPJS dan kejaksaan untuk menghukum badan usaha yang tidak mendaftarkan
karyawannya. Hal itu dikhawatirkan menekan pengusaha. Dia justru menyesalkan
karena hingga kini BPJS tidak melibatkan Kadin. Padahal, di Surabaya saja ada
ribuan perusahaan yang menjadi anggota Kadin. Jamhadi menyatakan, belum pernah
ada sosialisasi dari BPJS kepada Kadin Surabaya. ”BPJS tolong lebih proaktif.
Jangan hanya menyalahkan perusahaan. Jangan diultimatum. Kami ini mikir
bayar pajak, listrik, dolar naik. Kami imbau tidak main ancam,” tegasnya. Saat
ini, Jamhadi mengaku telah mendaftarkan karyawan perusahaannya kepada BPJS
Ketenagakerjaan. Namun, belum pada BPJS Kesehatan. Pembayaran tagihan jaminan
tenaga kerja dilakukan per proyek. Sebab, badan usaha yang dipimpinnya termasuk
sektor jasa konstruksi. Dia mencontohkan, untuk proyek dengan nilai kontrak Rp
130 miliar, tanggungan BPJS mencapai Rp 119 juta. ”Saya dan karyawan merasa
nyaman dikelola sendiri dengan asuransi swasta. Tapi, saya minta HRD untuk
menjajaki kemungkinan mendaftar BPJS Kesehatan,” ujarnya. Berdasar pengalaman,
dia menyebutkan, besaran iuran BPJS sebenarnya tidak berbeda jauh dengan
asuransi sosial. Besarannya pun cukup logis, yakni 4,5 persen untuk BPJS
Kesehatan. Sebanyak 4 persen dibayarkan pemberi kerja, sedangkan 0,5 persen
sisanya ditanggung pekerja. Hanya, dia berharap BPJS memperbaiki sistem
pendaftaran, rujukan, dan menyediakan fasilitas kesehatan tujuan saat karyawan
sakit (Ayu. 2015).
3.
ANALISIS MASALAH
3.1. Pengertian Manajemen Risiko dan
Asuransi
Manajemen
Dalam suatu organisasi, manajemen diperlukan dalam
segala bidang, bentuk, serta kegiatan, dimana orang-orang saling bekerja sama
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Manajemen berasal dari kata “to
manage” yang artinya mengatur. Manajemen adalah suatu proses perencanaan,
pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian upaya dari anggota organisasi
serta penggunaan semua sumber daya yang ada pada organisasi untuk mencapai
tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya (Kotler, 2005: 14).
Manajemen adalah pengarahan suatu usaha melalui perencanaan, pengorganisasian,
pengkoordinasian, dan pengendalian sumber-sumber tenaga manusia dan bahan,
dijuruskan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan (Soebagio, 1999: 15).
Berdasarkan beberapa definisi manajemen tersebut, dapat ditarik kesimpulan
bahwa manajemen merupakan suatu perangkat dan proses perencanaan,
pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengendalian usaha baik dari pemimpin
sampai anggota organisasi serta penggunaan semua sumber daya yang ada pada
organisasi dalam mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Risiko
Istilah risiko sudah biasa dipakai dalam kehidupan
sehari-hari, yang umumnya secara intuitif sudah memahami apa yang dimaksudkan.
Pengertian risiko secara ilmiah sendiri sampai saat ini masih tetap beragam,
yaitu antara lain: “Risiko merupakan penyebaran/penyimpangan hasil aktual dari
hasil yang diharapkan” (Herman Darmawi, 1990: 20); “Risiko adalah kemungkinan
hasil yang diperoleh menyimpang dari yang diharapkan” (Hanafi, 2006: 1).
Dari
pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa risiko adalah suatu
ketidakpastian yang dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya akibat buruk yang
tidak diinginkan.
Manajemen
Risiko
Berikut ini beberapa definisi manajemen risiko
organisasi: “Manajemen risiko adalah seperangkat kebijakan, prosedur yang
lengkap, yang dipunyai organisasi, untuk mengelola, memonitor dan mengendalikan
eksposur organisasi terhadap risiko” (Hanafi, 2006: 26); “Manajemen risiko
adalah suatu proses dengan metode-metode tertentu supaya suatu organisasi
mempertimbangkan risiko yang dihadapi setiap kegiatan organisasi dalam mencapai
tujuan organisasi” (Siahaan, 2007: 22). Dari beberapa pengertian tersebut maka
dapat ditarik kesimpulan manajemen risiko organisasi adalah pelaksanaan
fungsi-fungsi manajemen dalam penanggulangan risiko, terutama risiko yang
dihadapi oleh organisasi dalam mencapai tujuan organisasi. Manajemen risiko
mencakup kegiatan merencanakan, mengorganisir, menyusun, memimpin/mengkoordinir
dan mengawasi (termasuk mengevaluasi) program penanggulangan risiko.
Proses
Manajemen Risiko
1. Perencanaan
Perencanaan manajemen risiko bisa dimulai dengan
menetapkan visi, misi, dan tujuan, yang berkaitan dengan manajemen risiko
kemudian bisa diteruskan dengan penetapan target, kebijakan, dan prosedur yang
berkaitan dengan manajemen risiko. Keseluruhan hal tersebut dapat memudahkan
pengarahan dan menegaskan dukungan manajemen terhadap program manajemen risiko.
Setelah misi dan kebijakan serta prosedur yang umum ditetapkan, langkah
berikutnya adalah menyusun kebijakan serta prosedur yang lebih spesifik.
2. Pelaksanaan
Pelaksanaan manajemen risiko meliputi aktivitas
operasional yang berkaitan dengan manajemen risiko. Proses identifikasi dan
pengukuran risiko, kemudian diteruskan dengan manajemen (pengelolaan) risiko
yang merupakan aktivitas operasional yang utama dari manajemen risiko.
Manajemen risiko pada dasarnya dilakukan melalui proses-proses Identifikasi
Risiko, Evaluasi dan Pengukuran Risiko, dan Pengelolaan Risiko (Hanafi, 2006:
10)
3. Pengendalian
Tahap berikutnya dari proses manajemen risiko adalah
pengendalian yang meliputi evaluasi secara menyeluruh pelaksanaan manajemen
risiko, output pelaporan yang dihasilkan oleh manajemen risiko, dan
umpan balik (feedback). Program manajemen risiko dengan demikian
mencakup tugas-tugas: mengidentifikasi risiko-risiko yang dihadapi, mengukur
atau menentukan besarnya risiko tersebut, mencari jalan untuk menghadapi atau
menanggulangi risiko, selanjutnya menyusun strategi untuk memperkecil ataupun
mengendalikan risiko, mengkoordinir pelaksanaan penanggulangan risiko serta
mengevaluasi program penanggulangan risiko yang telah dibuat. Fokus manajemen
risiko adalah mengenal pasti risiko dan mengambil tindakan yang tepat terhadap
risiko. Tujuannya adalah secara terus menerus menciptakan/menambah nilai
maksimum kepada semua kegiatan organisasi. Kegiatan apapun yang dilakukan harus
dapat menciptakan nilai tambah (Siahaan, 2007: 22).
Bazzarello, D.,
Crielaard, B., Piacenza, F. and Soprano, A. (2006), menjelaskan beberapa hal
yang harus diperhatikan oleh manajer risiko dalam menilai suatu risiko asuransi
adalah a) Exposure, merupakan risiko kerugian maksimum yang harus
dihadapi apabila terjadi suatu kejadian terburuk. b) Volatility, semakin
bervariasi hasil yang akan terjadi pada masa yang akan datang, maka semakin besar
risikonya. c) Probability, merupakan kemungkinan terwujudnya kejadian
yang mengandung risiko. Semakin besar probabilitas dari kejadian berisiko, maka
semakin besar risikonya. d) Severity, berbeda dengan exposure yang
menekankan pada kerugian maksimum, severity menekankan pada kerugian
yang sekiranya akan dialami. e) Time Horizon, semakin lama jangka waktu
suatu investasi, maka tingkat risiko akan semakin besar. f) Correlation, jika
risiko yang dihadapi saling berhubungan, maka risiko yang dihadapi perusahaan
akan semakin besar. g) Capital, perusahaan menyimpan modal untuk 2 (dua)
alasan utama, yaitu untuk memenuhi kebutuhan kas (cash-flow) dan untuk
menutupi kerugian yang tidak diperkirakan sebelumnya akibat.
3.2. Basic Principles of Insurance
Ada beberapa prinsip dasar
asuransi. Industri asuransi baik asuransi kerugian maupun asuransi kesehatan
memiliki prinsip-prinsip yang menjadi pedoman bagi seluruh penyelenggaraan
kegiatan perasuransian dimanapun berada. Prinsip-prinsip yang terdapat dalam sistem
hukum asuransi tersebut antara lain :
A. The
Utmost Good Faith
- Non insurance contracts:
Pada
umumnya kontrak perdagangan/komersial mengacu pada doktrin ‘caveat emptor’
(pembeli bebas mengetahui kondisi barang/jasa yang akan dibelinya).
Dalam kontrak komersial ini masing-masing pihak dapat meneliti atau mengetahui lebih dahulu barang atau jasa yang akan diperjual belikan. Sejauh tidak ada unsur jebakan atau tipuan oleh pihak lain dan keterangannya adalah benar, maka tidak ada alasan untuk membatalkan kontraknya. Dalam negosiasi ini keterangan diberikan kalau ada permintaan dari pihak yang melakukan negosiasi.
Dalam kontrak komersial ini masing-masing pihak dapat meneliti atau mengetahui lebih dahulu barang atau jasa yang akan diperjual belikan. Sejauh tidak ada unsur jebakan atau tipuan oleh pihak lain dan keterangannya adalah benar, maka tidak ada alasan untuk membatalkan kontraknya. Dalam negosiasi ini keterangan diberikan kalau ada permintaan dari pihak yang melakukan negosiasi.
- Insurance contracts:
- Semua fakta mengenai resiko yang lebih banyak mengetahui adalah tertanggung, sedangkan penanggung tidak banyak mengetahui, kecuali kalau tertanggung menjelaskannya.
- Proposer wajib memberikan keterangan mengenai resiko.
- Penanggung tidak dapat mendeteksi resiko secara keseluruhan
- Penanggung dapat melakukan survey untuk mengumpulkan data-data tapi belum juga sempurna karena tertanggung lebih mengetahui tentang fakta yang tak terlihat
- Untuk mendapatkan posisi yang seimbang dalam perjanjian yang fair maka kedua belah pihak harus diterapkan kewajiban “Uberrima fides or Utmost Good Faith”
- - Contractnya merupakan perjanjian dengan itikad sangat baik dan jujur
- Reciprocal
duty
Tanggung jawab/kewajiban juga ada pada penanggung (Carter V. Boehm 1766) dan penanggung tidak boleh menyembunyikan informasi yang menjadikan tertanggung kurang beruntung dalam kontrak asuransi ini. Contoh:
1. sprinkler
system berhak mendapatkan discount
2. tidak
menerima asuransi yang benar yang tidak sejalan dengan hukum
3. tidak
membuat pernyataan yang tidak benar selama negosiasi
Definisi:
Utmost good faith means a positive duty to voluntarily disclose, accurately and fully, all facts material to the risk being proposed, whether asked for them or not.
Utmost good faith means a positive duty to voluntarily disclose, accurately and fully, all facts material to the risk being proposed, whether asked for them or not.
Material
facts.
Menurut MIA
1906, Every circumstances is material which
would influce the jugdement of a prudent insurer in fixing the premium or
determining whether he will take the risk”
Fakta
yang harus diungkapkan
Fakta-fakta yang mempengaruhi penanggung
dalam akseptasi atau penolakan resiko atau dalam penetapan premi atau kondisi
dan persyaratan kontrak, adalah material dan harus diungkapkan kepada
penanggung, antara lain:
1. Fakta
yang berdasarkan faktor internal menunjukkan resikonya lebih besar dari yang
diperkirakan dari sifat atau kelompoknya;
2. Fakta
dari faktor eksternal menjadikan resikonya lebih besar dari yang normal;
3. fakta
yang membuat kemungkinan jumlah kerugian lebih besar dari yang diperkirakan;
4. Data
kerugian dan klaim dari polis terdahulu;
5. Penolakan
yang pernah dilakukan atau persyaratan yang dikenakan oleh penanggung lainnya;
6. Fakta
yang membatasi hak subrogasi;
7. Adanya
polis non indemnity
8. Fakta
lainnya yang berkaitan dengan subject matter of insurance;
Contoh fakta yang harus diungkapkan:
1. asuransi
kebakaran : bentuk konstruksi bangunan dan penggunaannya;
2. asuransi
kecurian : sifat dan nilai barang stock;
3. asuransi
motor : para pengemudi lainnya selain tertanggung yang akan menggunakan motor
itu;
4. asuransi
marine cargo: barang konsinyasi yang akan dibawa;
5. asuransi
jiwa : penyakit yang pernah diderita
6. kecelakaan
diri : riwayat penyakit yang memungkinkan timbulnya kecelakaan
7. asuransi
lainnya : pengalaman kerugian dan semua fakta yang dapat diketahui
atau
diperkirakan oleh tertanggung, misalnyaa pemilik rumah harus mengetahui
penggunaan bangunan oleh penyewanya.
Fakta yang tidak harus diungkapkan. Dalam
hal-hal tertentu, underwriter dianggap telah mengetahui fakta-fakta yang ada
sehingga walaupun fakta itu materiil tidak harus diungkapkan oleh tertanggung,
yaitu:
- Fakta yang telah dinyatakan dalam peraturan perundangan;
- Fakta yang underwriter dianggap telah mengetahui, yaitu fakta yang secara umum orang telah mengetahui, misalnya bangunan yang akan diasuransikan itu berada dalam zona gempa bumi;
- Fakta yang mengurangi resiko; misalnya pemasangan sistem alarm atau sprinkler dalam bangunan;
- Fakta yang telah ditanyakan oleh underwriter, misalnya data klaim yang lampau;
- Fakta yang telah disurvey oleh underwriter;
- Fakta yang dijamin dalam kondisi polis: suatu fakta yang secara expressed atau implied warranty harus dilakukan oleh tertanggung, misalnya adanya alarm keamanan yang selalu harus dipelihara;
- Fakta yang pemohon tidak mengetahuinya: seseorang tidak dapat dituntut untuk mengungkapkan sesuatu yang tidak diketahuinya;
- fakta yang menyangkut diri pemohon yang sedang dalam rehabilitasi berdasarkanvRehabilitation of Offenders Act 1974
B. Indemnity
- Definisi:
Indemnity as a mechanism by which the insurer provide financial compensation in an attempt to place the insured in the same pecuniary position after the loss as he enjoyed immediately before it.
Dalam
kontrak asuransi, indemnity dapat diartikan sebagai kompensasi finansiil yang
pasti yang cukup menempatkan tertanggung dalam posisi keuangan tertanggung
sesudah kerugian sebagaimana yang ia alami segera sebelum peristiwanya terjadi.
- Hubungan antara indemnity dan insurable interest:
- Hubungan antara indemnity dengan insurable interest bahwa kepentingan
tertanggung
terhadap sesuatu yang diasuransikan adalah sesuatu yang sebenarnya
diasuransikan.
- Penggantian tidak akan lebih dari insurable interest
- Indemnity sangat erat hubungannya dengan perhitungan keuangan
- Menjadi susah untuk kontrak asuransi jiwa dan personal accident.
Asuransi
jiwa dan personal accident bukan kontrak indemnity karena tidak bisa dihitung
dengan uang
C. Insurable Interest
- Konsep insurable interest.
Tidak
semua resiko dapat diasuransikan. Resiko yang dapat diasuransikan (insurable
risk) harus memenuhi karakteristik:
- Nilainya dapat diukur secara finansial (financial measurement)
- Pure risk
- Particular & fundamental risk
- Fortuitous
- Homogenous exposure
- Reasonable premium
- Not against public policy
- Insurable interest. Insurable interest adalah salah satu syarat agar suatu resiko dapat dikategorikan sebagai insurable risk. Apabila tidak ada insurable interest, maka tertanggung tidak dapat mengasuransikan.
- Subject matter of insurance.
Subject
matter of insurance dapat berbentuk barang (property) atau kejadian yang secara
hukum dapat menimbulkan kerugian (loss of a legal right) atau. tanggung
jawab hukum (a legal liability). Contoh:
·
Subject matter of insurance dalam polis
kebakaran : gedung, barang dagangan atau mesin. Subject
matter of insurance dalam polis liability : tanggung jawab hukum seseorang atas
kecelakaan atau kerusakan
·
Subject matter of insurance dalam polis
marine : kapal, muatannya atau bisa juga tanggung jawab pemilik kapal atas
kecelakaan atau kerugian yang menimpa pihak ketiga. Untuk
menentukan insurable interest, dalam kontrak asuransi, yang diasuransikan
bukannya bangunan, kapal, mesin atau tanggung jawab hukum pada pihak ketiga,
melainkan kepentingan keuangan tertanggung (pecuniary interest of the insured)
atas rumah, kapal, mesin, atau atas kepentingan keuangan tertanggung terhadap
orang yang diasuransikan.
- Subject matter of contract. Subject matter of contract adalah suatu nama yang diberikan pada kepentingan keuangan yang dimiliki seseorang dalam subject matter of insurance. Dasar hukum : Castellain preston (1883). Apa yang dipertanggungkan dalam asuransi kebakaran?. Bukan batu atau material yang dipakai dalam bangunan tetapi kepentingan tertanggung pada objek pertanggungan tersebut.
- Definisi insurable interest: Insurable interest merupakan “the legal right to insure arising out of a financial relationship, recognized at law, between the insured and the subject matter of insurance”
- Essentials of insurable interest. Unsur-unsur pokok dari insurable interest adalah:
1. Harus
ada benda, hak, kepentingan, jiwa, tanggung jawab yang dapat
diasuransikan
2. Benda,
hak, kepentingan dan sebagainya harus merupakan objek yang
diasuransikan
(subject matter of insurance)
3. Tertanggung
harus mempunyai hubungan dengan objek yang dipertanggungkan di mana dia
memperoleh manfaat atas keutuhannya, dan mengalami kerugian atas rusaknya atau
hilangnya subject matter of insurance
4. hubungan
antara tertanggung dan subject matter of insurance harus diakui/sah
secara
hukum
- Tambahan keempat unsur tersebut timbul dari sengketa antara Macaura v. Northern Assurance Company (1925). Macaura memiliki polis kebakaran untuk sejumlah kayu di pekarangannya. Ia telah menjual kayu tersebut kepada perusahaan, di mana ia sebagai pemegang saham perusahaan tersebut. Kayu tersebut kemudian terbakar dan klaim kepada perusahaan asuransi ditolak, atas dasar bahwa Macaura tidak lagi memiliki kepentingan asuransi atas kayu yang telah menjadi asset perusahaannya, walaupun ia adalah pemegang sahamnya.
D.
Subrogation
Definisi
subrogasi.
Subrogation is a
right of one person, having indemnified another under a legal obligation to do
so, to stand in the place of that another and avail himself of all rights and remedies
of that other, whether already enforced or not. Dalam kasus Burnand v.
Rodonachi, prinsip subrogasi diketengahkan di mana asuradur yang telah
memberikan indemnity, berhak menerima kembali dari tertanggung sesuatu yang
diterima tertanggung dari sumber lain. Hal
yang mendasar adalah bahwa tertanggung berhak atas indemnity tapi tidak boleh
lebih dari itu. Subrogasi membolehkan asuradur menggantikan kedudukan
tertanggung dalam memperoleh keuntungan atas adanya kejadian yang dijaminkan.
Corollary
of indemnity.
Subrogation
merupakan pendukung konsep indemnity karena subrogasi mencegah tertanggung
untuk mendapatkan recovery lebih dari kerugian yang dideritanya. Kasus hukumnya
adalah Castellain v. Preston (1833) di mana dalam kasus ini Preston melakukan transaksi
jual rumah sewaktu rumah itu terbakar. Ia kemudian memperoleh penggantian dari
asuradurnya, Liverpool London and Globe, dan selanjutnya selagi perbaikan rumah
tersebut dilakukan, ia juga menerima sepenuhnya harga beli dari Rayner. Kontrak
jual beli mana membawa kewajiban bagi Rayner untuk membayar seharga 3.100 pound
sekalipun rumah telah rusak dan belum diperbaiki. Castellain atas nama beberapa
asuradur, berhasil menuntut sejumlah pembayaran yang telah diberikan kepada
Preston.
Dalam penerimaan sejumlah tadi, Preston telah menuntut hak terhadap Rayner. Recovery dari Preston sejumlah 330 pound, yang merupakan perkiraan biaya perbaikan, adalah suatu contoh suatu asuradir mengambil manfaat untuk dirinya atas hak yang telah dilakukan oleh tertanggung. Biasanya, jika tertanggung telah diberikan indemnity oleh asuradur, tertanggung belum akan melakukan tuntutan untuk meminta recovery yang ada dari pihak ketiga kalau tidak diminta oleh asuradir.
Dalam penerimaan sejumlah tadi, Preston telah menuntut hak terhadap Rayner. Recovery dari Preston sejumlah 330 pound, yang merupakan perkiraan biaya perbaikan, adalah suatu contoh suatu asuradir mengambil manfaat untuk dirinya atas hak yang telah dilakukan oleh tertanggung. Biasanya, jika tertanggung telah diberikan indemnity oleh asuradur, tertanggung belum akan melakukan tuntutan untuk meminta recovery yang ada dari pihak ketiga kalau tidak diminta oleh asuradir.
Dalam
kontrak asuransi jiwa yang bukan merupakan kontrak indemnity, subrogasi tidak
diberlakukan dan apabila ahli waris tertanggung dapat memperoleh recovery dari
pihak ketiga yang melakukan kelalaian, di samping memperoleh pembayaran
sejumlah uang dari asuradur.
- Perluasan hak subrogasi. Mengingat hubungan antara subrogasi dan indemnity, seorang asuradur dapat memperoleh recovery dari apa yang telah dibayarkannya kepada tertanggung.
3. Timbulnya
hak subrogasi. Hak subrogasi dapat timbul dari:
Tort,
adalah kesalahan yang sifatnya perdata (civil wrong), yang merupakan bagian
dari common law Inggris, dan bukan merupakan tindakan kriminal. Macam-macam
tort:
·
Neglience (kelalaian).
Definisi
neglience:. “The omission to do something which a
reasonable man, guided upon those consideration which ordinarily regulate the
conduct of human affairs, would do, or doing something which a prudent and
reasonable man would not do” (Blyth v. Birmingham Waterworks Co., 1856). Contoh : mobil tertanggung mengalami
kerusakan akibat tabrakan yang disebabkan oleh kelalain pihak ketiga, maka penanggung
setelah membayar indemnity kepada tertanggung, dapat menggunakan hak subrogasi
untuk menuntut recovery dari pihak ketiga.
·
Nuisance, merupakan gangguan terhadap
hak seseorang untuk menikmati fasilitas
yang ia miliki. Contoh : Di jalan ada galian jalan oleh
kontraktor. Karena tidak ada tanda pengamanan, mobil tertanggung masuk ke
lubang dan rusak. Tertanggung bisa minta penggantian dari asuransi dan asuransi
mempunyai hak subrogasi kepada kontraktor tersebut (public nuisance). Di
sebelah rumah tertanggung ada proyek gedung yang menggunakan hammer yang
menyebabkan getaran dan rumah tertanggung menjadi rusak/retak (private
nuisance).
·
Trespass, misalnya memasuki halaman dan
rumah orang tanpa ijin termasuk penganiayaan dan mengambil harta benda milik
orang lain.
Contoh : Mobil tertanggung dicuri dan minta penggantian dari asuransi. Perusahan asuransi punya hak untuk mengejar pencuri dan minta ganti rugi.
Contoh : Mobil tertanggung dicuri dan minta penggantian dari asuransi. Perusahan asuransi punya hak untuk mengejar pencuri dan minta ganti rugi.
·
Strict liability. Contoh
: Di suatu kompleks perumahan, seseorang menyimpan barang yang tidak semestinya
dalam jumlah yang banyak, misalnya bensin. Apabila bensin terbakar dan membakar
rumah orang lain, maka ia bertanggung jawab terhadap kerugian orang lain.
·
Defamation
Terbagi menjadi slander (lisan) dan libel (tulisan)
Contoh : rekaman acara televisi yang merusak nama orang lain (libel, karena sifatnya permanen).
Terbagi menjadi slander (lisan) dan libel (tulisan)
Contoh : rekaman acara televisi yang merusak nama orang lain (libel, karena sifatnya permanen).
3.3.
Law of Large Numbers
Law of Large Numbers adalah suatu konsep statistik
yang menghitung jumlah rata-rata kejadian/resiko dalam sebuah sample atau
populasi untuk memprediksi sesuatu. Semakin besar populasi yang dihitung, maka
prediksinya akan semakin tepat. Dalam bidang asuransi, Hukum Bilangan Besar ini
digunakan untuk memprediksi resiko kerugian atau klaim dari sejumlah peserta
sehingga preminya bisa dihitung dengan tepat.
Penerapan dalam Asuransi
Ketika diterapkan dalam asuransi, hal ini berarti
semakin besar jumlah orang yang diasuransikan, kerugian yang akan dialami
cenderung mendekati kerugian yang diperkirakan. Risiko
dan ketidakpastian berkurang dengan meningkatnya jumlah orang yang
diasuransikan. Jadi, semakin besar kelompok yang diasuransikan, kerugian akan
semakin bisa diperkirakan atas kelompok tersebut.
Dengan
menerapkan hukum ini, perusahaan asuransi bisa menentukan tingkat mortalita
(frekuensi kematian) dan tingkat morbidita (tingkat sakit, cedera dan
terjadinya gagal kesehatan) dari orang yang diasuransikan.
Tingkat mortalita dan morbidita
digunakan dalam perhitungan tingkat premi asuransi perusahaan ke berbagai jenis
produk asuransi yang diterbitkan.
Employee benefits adalah program kesejahteraan
karyawan di luar gaji. Perusahaan bonafid adalah perusahaan, tempat bekerja
yang dapat diandalkan. Jadi, suatu perusahaan dapat dikatakan bonafid apabila
telah menyediakan program employee benefits (program kesejahteraan karyawan).
Kompensasi tambahan yang bertujuan untuk memacu loyalitas dan produktivitas
karyawan dalam bekerja, itulah inti dari program employee benefits. Employee
benefits disediakan untuk melengkapi gaji pokok karyawan. Jadi, employee
benefits merupakan kompensasi tidak langsung di luar gaji yang diberikan kepada
karyawan untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan.
3.4. Jaminan Sosial
Kemiskinan dan ketimpangan sosial adalah dua isu
sentral dalam wacana perumusan dan pengembangan kebijakan sosial (social
policy). Dalam literatur pekerjaan sosial (social work), jaminan sosial (social
security) merupakan salah satu jenis kebijakan sosial untuk mengatasi
kemiskinan dan ketimpangan dalam masyarakat. Setiap negara memiliki definisi,
sistem, dan pendekatan yang berbeda dalam mengatasi kemiskinan dan ketimpangan,
dan karenanya, memiliki sistem dan strategi jaminan sosial yang berbeda pula.
Jaminan sosial umumnya diimplementasikan ke dalam berbagai bentuk tunjangan
pendapatan secara langsung (income support) yang terkait erat dengan kebijakan
perpajakan dan pemeliharaan pendapatan (taxation and income-maintenance
policies). Namun demikian, jaminan sosial kerap meliputi pula berbagai skema
peningkatan akses terhadap pelayanan sosial dasar, seperti perawatan kesehatan,
pendidikan, dan perumahan (lihat Huttman, 1981; Gilbert dan Specht, 1986;
Cheyne, O’Brien dan Belgrave, 1998). Jaminan sosial yang berbentuk tunjangan
pendapatan dapat disebut benefits in cash, sedangkan yang berwujud bantuan barang
atau pelayanan sosial sering disebut benefits in kind (Shannon, 1991; Hill,
1996; MHLW, 1999).
Kata “Jaminan sosial” berasal dari kata social dan
security. Security diambil dari Bahasa Latin “se-curus” yang bermakna “se”
(pembebasan atau liberation) dan “curus” yang berarti (kesulitan atau
uneasiness). Sementara itu, kata “social” menunjuk pada istilah masyarakat atau
orang banyak (society). Dengan demikian, jaminan sosial secara harafiah adalah
“pembebasan kesulitan masyarakat” atau “suatu upaya untuk membebaskan
masyarakat dari kesulitan.”
Jaminan sosial
(social security) dapat didefinisikan sebagai sistem pemberian uang dan/atau
pelayanan sosial guna melindungi seseorang dari resiko tidak memiliki atau
kehilangan pendapatan akibat kecelakaan, kecacatan, sakit, menganggur,
kehamilan, masa tua, dan kematian.
3.5. Personal Risk dan Employee
Benefit.
Personal risk
diartikan sebagai risko yang akan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam
memberikan pendapatan. Misalnya risiko harus dirawat di rumah sakit karena menderita
sakit serius, atau risiko untuk dianggap terlalu tua untuk dapat dipekerjakan,
dan sebagainya. Sedangkan property risks adalah risiko yang ada pada seseorang
apabila seseorang itu memiliki sesuatu, yaitu kemungkinan bahwa apa yang
dmiliki itu akan hilang, dicuri orang atau rusak. Misal seseorang memiliki
sepeda, akan menghadapi kemungkinan bahwa barang itu akan hilang atau rusak.
Kerugian yang timbul disini dapat dibedakan lagi kedalam kerugian yang langsung
(direct loss) dan kerugian yang tidak langsung (indirect loss/consequential
loss).
3.6. Fungsi Asuransi.
Fungsi asuransi
dapat digolongkan dalam 3 fungsi, yaitu primary
function, subsidiary function dan other
related function.
A. Primary function
(fungsi primer)
1. Risk Transfer
Asuransi adalah
mekanisme pengalihan risiko, di mana perorangan atau badan usaha dapat
mengalihkan sesuatu yang tidak pasti kepada pihak lain, dengan sejumlah premi
yang relatif kecil dibandingkan dengan kemungkinan kerugian, ketidakpastian
kerugian itu diahlihkan kepada asuransi.
2. Common Pool
Pada awal
timbulnya marine insurance, para pedagang waktu itu bersepakat untuk memberikan
kontribusi terhadap kerugian (karena risiko laut) yang dialami oleh seseorang
di antara mereka. Praktek demikian tidak sepenuhnya mengalihkan risiko tetapi
hanya mengurangi risiko.
Dalam
perkembangannya kontribusi itu ditetapkan pada awal sebelum timbul kerugian,
sehingga masing-masing sudah bisa mengetahui pasti beban kontribusi, yaitu
membayar apa yang disebut premi. Premi tersebut diterima dan dikumpulkan dalam
suatu fund atau pool serta dikembangkan untuk menanggulangi klaim yang terjadi
3. Equitable Premiums
Dengan asumsi
bahwa pengalihan risiko telah dilakukan melalui common pool, fungsi utama yang
ketiga adalah kontribusi yang harus dibayar oleh masing-masing peserta harus
fair.
Tingkat risiko
yang dialami oleh setiap peserta bisa berbeda, misalnya untuk bangunan yang
terbuat dari kayu memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan
bangunan dari batu. Pengemudi yang berumur 18 tahun lebih tinggi risikonya
dibandingkan dengan pengemudi yang berumur 50 tahun.
Demikian juga
nilai barang yang dipertanggungkan tidak selalu sama. Perbedaan mengenai
tingkat hazard dan nilai itu akan membawa konsekuensi besarnya kontribusi
(premi) yang dibebankan. Hal-hal semacam ini yang sekarang menjadi dasar para
underwriter dalam menetapkan tingkat premi.
B. Subsidiary
function (fungsi subsider)
1. Stimulus to
business enterprise
Fungsi sebagai pendorong usaha tergambar dalam
kegiatan asuransi melakukan investasi yang berasal dari dana asuransi. Selain
itu dengan asuransi dapat memberikan keberanian para investor untuk membangun
usaha baru atau mengembangkan usahanya.
2. Loss prevention
Tenaga surveyor asuransi banyak memperoleh
pelatihan dan pengalaman dalam melakukan identifikasi suatu risiko menjadikan
dirinya memiliki kemampuan untuk memberikan saran pencegahan kerugian.
Fungsi sebagai loss prevention tergambar dalam
saran yang direkomendir oleh surveyor asuransi untuk melakukan hal-hal yang
dapat mencegah terjadinya kerugian.
Surveyor asuransi pencurian dapat
memberikan saran adanya pemasangan alat detektor yang dapat mencegah atau
menghambat pencuri. Surveyor asuransi liability (liaiblity insurance) dapat memberikan saran dalam pencegahan
tuntutan publik akibat kondisi kerja atau produksi
3. Loss control
Rekomendasi dari
surveyor asuransi bukan saja terbatas pada pencegahan kerugian tetapi juga
memberikan rekomendasi cara untuk mengurangi kerugian. Saran memenuhi
persyaratan konstruksi bangunan, pemasangan sprinkler, alarm, merupakan upaya
untuk mengendalikan kerugian apabila risiko terjadi. Surveyor tidak mungkin
dapat mencegah pencuri masuk, tetapi surveyor dapat menyarankan sesuatu yang
dapat membatasi, mempersulit, menghambat, atau memperlambat langkah pencuri.
4.
Manfaat
sosial (social benefits)
Klaim yang dibayarkan oleh asuransi
memungkinkan pengusaha dapat membangun kembali pabrik/usahanya, sehingga dapat
menghindari adanya pemutusan hubungan kerja akibat pabrik terbakar. Kegiatan
asuransi itu sendiri menciptakan lapangan kerja.
Melalui asuransi, dapat disediakan dana untuk mengatasi masalah sosial,
misalnya satuanan orang cacat, janda, yatim.
C.
Tabungan
(savings)
Dalam produk asuransi jiwa khususnya
endowment insurance menjamin pembayaran baik meninggal atau hidup di akhir
kontrak, pembayaran yang diterima tertanggung pada akhir kontrak pada dasarnya
merupakan akumulasi premi ditambah dengan bunga. Other related function
1.
Dana
investasi (investment of funds)
Himpunan dana asuransi (premi) yang disediakan untuk membayar klaim,
merupakan sumber dana investasi yang menimbulkan kegiatan investasi dalam pasar
uang dan pasar modal.
2.
Pendapatan
jasa (invisible earnings)
Transaksi asuransi dan reasuransi terjadi
dalam jangkauan yang luas antar negara. Suatu negara yang banyak menerima
pendapatan premi dari negara lain merupakan penghasilan negara yang
bersangkutan dari perdagangan jasa.
Di Indonesia yang terjadi adalah sebaliknya. Perusahaan asuransi di
Indonesia banyak yang menempatkan reasuransi di luar negeri, sehingga neraca
perdagangan kita defisit karena pembayaran premi merupakan penerimaan bagi luar
negeri dan pengeluaran bagi Indonesia.
Sebabnya antara lain:
- Lack of technology dan knowledge
- Tidak adanya integritas pengusaha asuransi Perusahaan asuransi di
Indonesia membayar klaim dari hasil reasuransi di luar negeri sehingga fungsi
perusahaan asuransi hanya sebagai agen/broker saja.
- konsumen masih luar negeri minded (lack of nationalism),
sehingga memilih. perusahaan asuransi luar negeri.
3,7. Analisis Kasus
Masalah defisit penyelenggaraan BPJS Kesehatan dan BPJS ketenagakerjaaan dari
mulai kesenjangan antara suplai pendanaan dan pengeluaran hingga ketidaksiapan
struktur fasilitas kesehatan serta masih banyaknya tenaga
kerja yang mengikuti BPJS ketenagakerjaan tidak mersakat manfaatnya. Hal ini
perlu disikapi lebih lanjut karena BPJS merupakan Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial negara yang seharusnya dapat memberikan manfaat bagi masyarakat
indonesia. Pembenahan manajemen perlu di lakukan oleh BPJS. Kesalahan akibat
dari kesenjangan pendaan dan pengeluaran merupakan kesalahan BPJS dalam
manajemennya. Transformasi
PT Askes dan PT Jamsostek sejak 1 Januari 2014 menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan masih mengalami kendala di lapangan. Misalnya di BPJS
Kesehatan, Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) yang baru mendaftar mengalami
kendala berupa penundaan masa aktivasi kepesertaan dari 7 menjadi 14 hari.
Sedangkan BPJS Ketenagakerjaan masih menghadapi kendala regulasi teknis yang
belum terbit seluruhnya.
Lima masalah terkait BPJS
dengan sistem informasi di pihak peserta, pengelola, PPK I II III dan usulan
pemecahan masalahannya.
1. Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) telah mengaudit program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Kesehatan, hasilnya terlihat pada data peserta dan obat yang tidak
ditanggung BPJS Kesehatan. Kemenkes merevisi beberapa regulasi yang memang
malah menghambat pelayanan seperti merevisi aturan jenis penyakit yang bisa
langsung ke RS.
2. Ketidakjelasan
tentang status kepesertaan Proses registrasi bagi peserta
yang terkesan sulit karena disetiap kabupaten tidak bisa bisa diakses padahal
sudah memiliki token. Proses mutasi dari peserta askes dan peserta
JPK (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Jamsostek) ke BPJS Kesehatan, selama ini
banyak permasalahan terkait peralihaan data. Peserta JPK Jamsostek harus
mendaftar ulang ke BPJS Kesehatan, padahal seharusnya otomatis. Transformasi JPK Jamsostek ke BPJS Kesehatan meninggalkan peserta
JPK Pekerja Mandiri yang tidak otomatis menjadi peserta BPJS Kesehatan. Padahal
sesuai UU 24/2011 tentang BPJS sangat jelas dinyatakan peserta JPK Jamsostek
otomatis menjadi peserta BPJS Kesehatan.
3. Validitas
data kepesertaan juga masih belum sempurna. Kartu peserta belum
terdistribusikan seluruhnya. Status kepesertaan gelandangan, pengemis, orang
telantar, penderita kusta, penderita sakit jiwa, penghuni lembaga
pemasyarakatan dan calon tahanan yang tidak jelas pertanggungjawabannya. BPJS
juga belum punya lembaga yang mengurusi kepuasan peserta dan respon pengaduan
masyarakat. “Sistem teknologi informasi BPJS belum berjalan dengan baik dan
maksimal.
4. Kurangnya
sosialisasi tentang regulasi à hal regulasi para stakeholders dilihat belum paham betul regulasi
Jaminan Kesehatan Nasional. Pedoman pelaksanaannya juga belum dijabarkan secara
lengkap dan jelas.
5. Belum
optimalnya pelayanan dan hasil evaluasi DJSN meliputi belum berjalan secara baik mekanisme
rujukan, rujukan berjenjang, rujukan parsial dan rujukan balik, belum memadai
kapasitas fasilitas kesehatan primer, belum optimal pelayanan kepada peserta,
dan belum lengkap e-katalog 2014. Bagi peserta sebagian besar merasakan kurang
puas akan pelayanan, seperti hak peserta askes dan jamsostek dikurangi terkait
berbedanya obat yang dapat diklaim dari jamsostek ke BPJS. Tidak berlakunya
jampersal di BPJS. Dalam hal manfaat, DJSN melihat Jaminan Sosial Kesehatan
oleh BPJS justru berimbas pada penurunan manfaat yang dirasakan oleh peserta
lama (seperti peserta Jamsostek dan Askes).
6. Kekurangan sumberdaya manusia
(SDM) seperti tenaga medis, perekam medis dengan coding INA-CBG’s, perekam
medik dan dokter harus paham benar mengenai apa itu International
Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems 9 ( ICD 9) dan ICD 10. Para perekam
medik harus terampil dalam membuat klarifikasi penyakit dan tindakan sesuai
dengan ICD 9 dan ICD 10 sistem BPJS dengan cepat dan tepat.
7. Permasalahan masih didominasi
ketidaksiapan pemerintah dan BPJS Kesehatan –sebelumnya bernama PT Askes
(Persero) dalam menyelenggarakan jaminan sosial bagi masyarakat àKeterlambatan pembuatan regulasi operasional seperti Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Peraturan Menteri
Kesehatan berkontribusi, sehingga menimbulkan masalah di lapangan.
Pemecahan
masalah
1.
Harus dibuat standar operasional
pelayanan, misalnya pendataran peserta berapa lama, berapa lama follow up
pengaduan peserta.
2.
Pendaftaran BPJS Kesehatan dilakukan di
Puskesmas-Puskesmas atau rumah sakit-rumah sakit yang mudah diakses masyarakat.
3.
Master file data kepesertaan harus
segera dibuat, distribusi kartu peserta dituntaskan dan segera berkoordinasi
dengan Kemendagri untuk penggunaan Nomor Induk Kependudukan untuk kepesertaan
Jaminan Kesehatan Nasional.
4.
Hal yang harus dibenahi tidak hanya
aturan. Melainkan, masalah pengawasan terhadap pelaksanaan program JKN karena
berbagai aturan program BPJS Kesehatan dibuat tergesa-gesa, sedangkan
sosialisasi terhadap peraturan dinilai kurang yang hanya mengejar target
pelaksanaan.Peraturan yang perlu ditambah hanya mekanisme pengawasan saja.
Misalnya, orang yang darurat itu harus diatasi serta peraturan tanggungjawab
Pemda dan pemerintah pusat yang sekarang pelayanan perlu dimaksimalkan saja.
5.
Penyelesaian petunjuk teknis, salah
satunya penggunaan dana kapitasi. Karena otoritas tanggungjawab Kemenkes adalah
bagaimana penggunaan hasil kapitasi dari puskesmas.
6.
Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan
agar segera melakukan penyusunan pedoman pelayanan dan peninjauan ulang atas
regulasi yang disharmoni.
7.
Dalam hal pelayanan, sebaiknya segera
dilakukan penyusunan pedoman rujukan sosialisasi kepada fasilitas kesehatan,
sekaligus melakukan pembaharuan data fasilitas kesehatan. Kemudian yang
terpenting adalah, BPJS segera melakukan sosialisasi tentang adanya program
Jaminan Kesehatan Nasional kepada seluruh masyarakat Indonesia.
8.
Hal yang perlu di evaluasi oleh pihak
BPJS seperti (a) tarif INA-CBGs yang terlalu rendah pada beberapa bagian ilmu
penyakit (b) belum adanya standar clinical pathway atau
pedoman SOP dokter di rumah sakit (c) Masalah harga obat dan kepastian
distribusi obat.
Dampak
Penetapan Anggaran PBI Jaminan Kesehatan terhadap Keuangan Negara dan Pelayanan Kesehatan
Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya, besaran iuran dana PBI antara usulan tim DJSN,
Jamsostek, Askes, dan IDI berbeda dengan besaran iuran PBI Jaminan Kesehatan
yang akhirnya ditetapkan oleh pemerintah. Pemerintah telah menganggarkan dana
sebesar Rp19,932 triliun dalam pelaksanaan program SJSN. Dana tersebut
digunakan untuk membayar premi sebesar Rp19.225 per orang penerima bantuan
iuran selama 12 bulan. Walaupun anggaran untuk kesehatan yang telah ditetapkan
pemerintah untuk tahun anggaran 2008-2013 terus mengalami peningkatan rata-rata
4,5% per tahun. Namun, peningkatan tersebut cenderung setara dengan tingkat
inflasi dalam kurun waktu tersebut kecuali untuk semester akhir tahun 2013 dan
tahun 2008 dengan tingkat inflasi masing-masing berada pada kisaran 8% dan 11%.
Pada
bagian terdahulu telah dijelaskan mengenai perbedaan usulan skema tarif baik
dari tim DJSN, Jamsostek, Askes, dan IDI. Pertanyaan selanjutnya lantas
berapakah tarif yang wajar atau pantas ditetapkan untuk penentuan besaran iuran
PBI Jaminan Kesehatan oleh BPJS ini? Jawaban atas pertanyaan tersebut akan
berbeda-beda karena banyaknya standar tarif yang ada saat ini selain isu
mengenai Equity dan Quality, mana yang harus didahulukan.
Prinsip Equity mensyaratkan jaminan
kesehatan bersifat universal dengan mencakup seluruh penduduk, sedangkan
prinsip Quality menyatakan bahwa
jumlah dana yang ditetapkan harus cukup untuk menyediakan pelayanan kesehatan
yang memadai. Pada beberapa waktu yang lalu muncul wacana untuk menyesuaikan
besaran iuran PBI dengan tarif berdasarkan INA-CBG seluruhnya. Apa yang
berjalan saat ini, pembayaran JKN secara garis besar dibagi menjadi dua. Untuk
fasilitas kesehatan primer (meliputi pengobatan oleh Puskesmas, dokter praktek,
bidan praktek, klinik pratama, RS pratama) akan menggunakan Kapitasi. Sedangkan
untuk pengobatan tertentu yang tercakup dalam fasilitas kesehatan lanjutan
perhitungan standard biayanya mengikuti standar biaya berdasarkan INA-CBG.
Kapitasi
adalah metode pembayaran untuk jasa pelayanan kesehatan dimana Pemberi
Pelayanan Kesehatan (dokter atau rumah sakit) menerima sejumlah tetap
penghasilan per peserta, per periode waktu (bulanan), untuk pelayanan yang
telah ditentukan per periode waktu. Kapitasi didasari dari jumlah tertanggung
(orang yang diberi jaminan atau anggota) baik dalam keadaan sakit atau dalam
keadaan sehat yang besarnya dibayarkan di muka tanpa memperhitungkan jumlah
konsultasi atau pemakaian pelayanan di PPK tersebut.
Namun
penggunaan sistem kapitasi memungkinkan timbulnya underutilization atau pengurangan fasilitas dan kualitas pelayanan
agar penyedia layanan bisa mendapat keuntungan sebesar-besarnya.
Berbeda
dengan sistem kapitasi, pada INA-CBG menggunakan casemix sebagai acuan untuk menetapkan standar biaya pelayanan
kesehatan. Casemix adalah
pengelompokan diagnosis penyakit yang dikaitkan dengan biaya perawatan dimana
satu kelompok biaya mencakup penyakit yang memiliki ciri klinis yang sama dan
menggunakan sumber daya/biaya perawatan yang cenderung sama. Sistem ini
dikembangkan untuk sistem pembayaran paket prospektif rumah sakit yang
memberikan pelayanan JKN dan berbasis pada real
cost dari rumah sakit terpilih. Struktur tarif diupayakan stabil,
sederhana, berbasis pada jenis pelayanan, dan dapat terus di-update yang mengacu pada perbaikan biaya
rumah sakit. Alangkah baiknya jika penetapan porsi dana subsidi bagi PBI
mengacu seluruhnya pada standard biaya INA CBG, karena standar biaya inilah
yang mampu menggambarkan biaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara
tepat. Subsidi dana bagi iuran PBI sebesar Rp19,932 triliun memiliki porsi
hanya sebesar 1,09% dari total alokasi belanja negara untuk tahun 2014 sebesar
Rp1.816,7 triliun. Jika besaran subsidi bagi PBI ini kita naikkan sebesar 15%
saja, maka dana yang tersedia bagi setiap PBI adalah kurang lebih Rp22.000 per
orangnya dengan total beban anggaran menjadi Rp22,921 triliun. Tentunya
anggaran yang telah ditetapkan oleh pemerintah telah melalui kajian yang
matang, namun tidak menutup kemungkinan besaran dana PBI yang tercantum dalam
RAPBN 2014 akan berubah dalam RAPBN-P 2014 yang
akan ditetapkan oleh pemerintah. Masukan, kajian, dan perhitungan yang
matang yang bersumber dari berbagai pihak akan menjadi pertimbangan pemerintah
untuk menaikkan besaran iuran PBI atau tetap pada jumlah yang sama sebelumnya
sebesar Rp19.225 per orangnya.
Masalah Umum BPJS Kesehatan terhadap
Rumah Sakit Swasta
Asosiasi
RS Swasta Indonesia (ARSI) terus berbenah untuk turut berpartisipasi
menyukseskan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Ketua ARSI periode 2014-2017, drg Sjahrul
Amri, MHA, mengatakan, sedikitnya terdapat empat poin yang masih dikeluhkan oleh
RS swasta
Pertama, belum
adanya standar clinical pathway atau pedoman SOP dan Standar Pelayanan
Medis (SPM) setiap dokter di rumah sakit, membuat terjadinya benturan di
lapangan. Antara dokter dan manajemen RS pun berbeda.
Clinical
Pathways merupakan suatu konsep perencanaan pelayanan
terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien berdasarkan
standar pelayanan medis dan asuhan keperawatan yang berbasis bukti dengan hasil
yang terukur dan dalam jangka waktu tertentu selama di rumah sakit.
Clinical Pathways menjadi salah satu komponen dari Sistem
DRG-Casemix yang terdiri dari kodefikasi penyakit dan prosedur tindakan (ICD 10
dan ICD 9-CM) dan perhitungan biaya (baik secara top down costing atau activity
based costing maupun kombinasi keduanya). Implementasi Clinical
Pathways berkaitan erat dengan Clinical Governance dalam hubungannya
menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan dengan biaya yang dapat diestimasikan
dan terjangkau.
Clinical Pathway
adalah alur suatu proses kegiatan pelayanan pasien yang spesifik untuk suatu
penyakit atau tindakan tertentu, mulai dari pasien masuk sampai pasien pulang,
yang merupakan integrasi dari pelayanan medis, pelayanan keperawatan, pelayanan
farmasi dan pelayanan kesehatan lainnya. Clinical Pathway bukan merupakan
clinical Guidelines atau protocal, karena setiap kasus dalam clinical pathway
dibuat berdasarkan standar prosedur dari setiap profesi yang mengacu pada
standar pelayanan dari profesi masing-masing, disesuaikan dengan strata sarana
pelayanan rumah sakit. Clinical Patway dapat digunakan untuk prediksi lama hari
dirawat dan biaya pelayanan kesehatan yang dibutuhkan sehingga dapat
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya rumah sakit.
Penyusunan
Clinical Pathway dan perhitungan cost of care untuk kasusu kasus yang sering
terjadi sangat diperlukan untuk pengendalian mutu dan biaya rumah sakit
mengingat standar Akreditasi International Rumah Sakit berdasarkan Joint
Commission International (JCI) yang diadopsi oleh komisi akreditasi Rumah sakit
(KARS) mensyaratkan agar Rumah Sakit menyusun setidaknya 5 Clinical Pathway
setiap bulan.Oleh karena itu perlu pemahaman khusus dalam penyusunan clinical
pathway sehingga rumah sakit dapat menghitung biaya pelayanan kesehatan dari
masing masing clinical pathway berdasarkan perhitungan unit cost yang telah
dimiliki oleh RS dan membandingkannya dengan tarif INA-CBG.
Kedua, paket
tarif INA-CBG's membuat posisi tawar dokter menjadi sulit. Apalagi banyak di RS
swasta bukan dokter tetap, meskipun sudah MoU soal BPJS.
Ketiga, Amri
menyebutkan masalah harga obat dan kepastian distribusi obat. Sistem kapitasi
membuat pasien yang semestinya harus dirawat lima hari, karena tarif terlalu
murah, sehingga dalam waktu tiga hari pasien selesai dirawat atau dibebankan
dengan sistem cost sharing.
Keempat, tarif
RS swasta dan pemerintah sama, kalau lihat SDM-nya, RS pemerintah digaji
pemerintah, RS swasta digaji secara mandiri.
Strategi Rumah Sakit Di Era Bpjs
Dalam menghadapi
era BPJS tidaklah mudah, terlebih untuk rumah sakit, perlu Pemikiran, strategi,
pengertian, kesepahaman dan kesepakatan bersama diseluruh internal rumah sakit,
baik itu Dokter, Staf Perawat, Staf umum dan Manajemen. Jika tidak cermat dan
hati-hati cerita tentang lonjakan pasien rumah sakit namun malah merugi akan
menjadi rangkaian cerita ironi. Dari itulah perlu langkah-langkah strategic dan
taktik yang baik dalam melaksanakan kebijakan JKN.
Hal pertama yang
harus dirubah rumus dan pola pelayanan BPJS adalah merubah dari Fee For Servicess menjadi INA CBG, penjelasannya
adalah Fee For Services : Cost + Profit =
Price jika sebelumnya kita membuat
tariff rumah sakit itu dengan Biaya ditambah Keuntungan sama dengan Tarif Rumah
Sakit, pada saat era JKN hal ini tepat lagi dilakukan dan sebaiknya merubah
rumusnya dengan tariff - Cost = Profit maksudnya
adalah tariff rumah sakit dikurangi Biaya sama dengan Keuntungan rumah sakit,
strategi inilah yang digunakan oleh RS An-Nisa Tangerang dibawah Kepemimpinan
dr. Ediansyah MARS yang disampaikan pada saat Kongres PERSI 2015 di JCC
Jakarta.
Strategi Fungsional
Berbicara
Bisnis Strategi tentunya harus didukung dengan Fungsional Strategi. Strategi
fungsional Apa yang harus disiapkan ?
Strategi Sumber
Daya Manusia
Pengetahuan
manajemen dalam rangka menjalan rumah sakit sangatlah penting, kemampuan dan
keahlian dari sumber daya manusia yang menduduki fungsi masing-masing menjadi
factor utama. Usahakan jangan sampai salah melakukan penetapan sumberdaya
mansusia dimasing-masing bagian. Terutama para manager yang secara teknis harus
memahami dan menguasai pekerjaan mereka.
· Strategi
Operasional
Strategi
operasional terkait dengan operasional yang ramping, struktur manajemen yang
tidak terlalu lebar rentang kendalinya, sehingga bisa lebih efektif. Suplay chain management menjadi penting
sehingga efisien dan efektifitas bisa terwujud dan akibatnya adalah kendali
biaya bisa diwujudkan dengan baik.
· Strategi
Pemasaran
Apakah di era
BPJS peran marketing atau pemasaran hilang ? menurut penulis tidak! Peran
pemasaran tidak hanya mempromosikan, mengajak dan memastikan orang untuk
memutuskan berobat di rumah sakit melainkan masih banyak tugas dan
tanggungjawabnya salah satunya adalah memastikan pelayanan dan kepuasan
pelanggan terpenuhi. Mampu secara responsive terhadap keluhan dan complain
pasien. Terus menerus memberikan informasi, promosi kesehatan dan bimbingan
kepada masyarakat. Selain itu harus mampu menarik informasi dari luar untuk
memberikan masukan kepada manajemen dengan tujuan membangun pelayanan yang
bermutu kepada pasien.
· Strategi
Keuangan
Strategi
keuangan pada tiap bisnis mungkin berbeda, namun intinya sama, seluruh bisnis
tidak terkecuali rumah sakit tentu ingin mendapatkan profit, keuntungan dari
usaha yang dijalankannya. Namun ada hal yang paling pundamental dari bisnis
rumah sakit ini adalah strategi keuangan harus mampu melakukan kendali keuangan
rumah sakit. Kendali keuangan rumah sakit menjadi penting karena berkaitan
dengan operasional dan keberlangsungan hidup rumah sakit itu sendiri. Manajer
keuangan ditingkat fungsional harus mampu menjadi filtering awal dan mampu
menganalisa kebutuhan prioritas rumah sakit. Mampu membuat laporan keuangan
sesuai dengan kaidah keuangan yang benar.
Kepemimpinan Transformasi Bisnis
Setelah
menentukan Strategi bisnis dan menentukan model bisnis hal yang paling penting
adalah peran Pimpinan dalam menjalankan bisnis rumah sakit. Perubahan kebijakan
yang sangat cepat perlu pemimpin yang kuat, baik secara pribadi, analisa bisnis
dalam mengambil keputusan. Sebaik apapun strategi yang dibuat, sehebat apapun
sumber daya manusia yang dimiliki tanpa pimpinan yang kuat itu semua tidak akan
menjadi apa-apa. Pimpinan yang memiliki visi dan misi serta konsisten pada
keputusan strateginya akan lebih mudah melalui trubulensi perubahan. Arahan,
pembinaan dan komunikasi yang terjaga akan membangun tim yang handal dan mampu
melihat dampak resiko bisnis dengan baik, mencipatakan budaya organisasi yang
optimis. Dengan demikian phenomena tentang BPJS akan bisa diterima bahkan bisa
membawa rumah sakit tumbuh dan berkembang.
4.
KESIMPULAN
4.1. Kesimpulan
Dalam menyelesaikan beberapa
masalah penyelenggaraan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan di Indonesia.
Di perlukan berbagai cara sebagai solusi penyelesaian berbagai masalah yang ada
saat ini. Peran dari pihak internal yaitu pihak manajemen dan eksternal BPJS pemerintah
dan berbagai mitra BPJS yaitu Rumah Sakit. Pihak – pihak ini harus yang
berkontribusi dan tidak hanya satu pihak. Amanat
BPJS diharapkan
bukan hanya sekedar baik dalam hal teknisnya saja, melainan juga pada penerapannya
dilapangan. Seperti diketahui bahwa
permasalahan yang dihadapi di Indonesia yang paling menonjol adalah dalam
setiap penerapan kebijakannya tidak
dapat berjalan dengan baik, bahkan bisa saja
kebijakan tersebut justru dimanfaatkan oleh oknum untuk memperoleh
keuntngan pribadi. Serta, yang terjadi saat ini bagi masyarakat yang
mendapat ASKES tidaklah mendapat pelayanan yang selayaknya, seperti mereka yang
membayar secara tunai. Akan tetapi, setidaknya kebijakan tentang penerapan UU
BPJS tersebut secara umum merupakan sebuah prestasi tersendiri bagi bangsa
Indonesia terhadap upaya peningkatan mutu kehidupan masyarakat. Diharapkan
dengan adanya UU BPJS ini maka masyarakat menjadi terjamin dalam kehidupan
sosialnya.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Prawoto, 1995, Hukum Asuransi Dan Kesehatan Perusahaan Asuransi
Berdasarkan
Risk Base Capital, (RBC). BPFE, Yogyakarta
Bazzarello, D., Crielaard, B., Piacenza,
F. and Soprano, A. 2006. Modeling
Insurance
Mitigation on Operational Risk Capital. Journal of Operationl Risk. 1(1). pp.
57-65.
Cheyne,
Christine, Mike O’Brien dan Michael Belgrave. 1998.
Social Policy in
Aotearoa New Nealand: A Critical
Introduction, Auckland: Oxford University Press.
Hanafi, M. 2006. Manajemen Risiko.
Yogyakarta: UPP STIM YKPM
MHLW
. Ministry of Health, Labour and Welfare
of Japan. 1999, Annual Report on
Health
and Welfare, Tokyo: MHLW.
Robert
I. Merh and Bob A Hedges, 1963, Risk
Management in the Bussiness Enter prise
Siahaan, H. 2007. Manajemen Risiko: Konsep, Kasus, dan Implementasi. Jakarta: PT.
Elex Media Komputindo
Suharto,
Edi. 1997. Pembangunan, Kebijakan
Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum
Pemikiran,
Bandung: Lembaga Studi Pembangunan STKS (LSP-STKS).
Ayu. 2015. Sistem BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan Dianggap Belum Siap.
http://www2.jawapos.com/baca/artikel/16380/sistem-bpjs-ketenagakerjaan-dan-kesehatan-dianggap-belum-siap. Diakses 10 Juni 2016.
Firmansyah, Teguh. 2016. Akar Permasalahan BPJS Kesehatan. http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/03/11/o3u2hh377-akar-masalah-bpjs-kesehatan. Diakses 10 Juni 2016.
Republik Indonesia. 2011. Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Lembaran Negara RI Tahun 2011, No. 116. Sekretariat Negara. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar