Rabu, 22 Juni 2016

Analisis Masalah defisit pelaksanaan BPJS kesehatan dan Ketenagakerjaan



1.      PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Dalam Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menyebutkan bahwa bahwa sistem jaminan sosial nasional merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Untuk mewujudkan tujuan sistem jaminan sosial nasional perlu dibentuk badan penyelenggara yang berbentuk badan hukum berdasarkan prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehatihatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan dana jaminan sosial seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta. Sebagai Badan Penyelenggarakan Jaminan Sosial yang disediakan oleh negara. Terdapat berbagai masalah yang terjadi. Mulai dari kurangnya pelayanan, berbagai komplain yang dialami oleh pasien dan sebagainya. Untuk itu diperlukan berbagai upaya serta solusi bagi BPJS untuk dapat memberikan kinerja yang baik untuk masyarakat. Dalam makalah ini, akan dibahas mengenai Masalah Defisit Pelaksanaan  BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan di Indonesia serta Analisis Masalahnya.


2.      MASALAH DEFISIT PELAKSANAAN BPJS KESEHATAN DAN KETENAGAKERJAAN

Dalam pelaksanaannyaa di Indonesia, BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan memiliki berbagai masalah. Sejumlah persoalan masih dihadapi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Dari mulai kesenjangan antara suplai pendanaan dan pengeluaran hingga ketidaksiapan struktur fasilitas kesehatan. Semua itu bisa mengganggu pelayanan terhadap pasien peserta jika tidak diatasi.
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional Ahmad Ansori mengatakan, salah satu persoalan dasar dalam BPJS yakni ketidaksesuaian suplai dengan biaya yang dikeluarkan untuk membayar klaim. BPJS mengusulkan agar iuaran premi bagi penerima bantuan iuran (PBI) sebesar Rp 36 ribu per bulan namun yang ditetapkan pemerintah hanya Rp 23 ribu.  "Ini akar masalahnya," ujarnya dalam diskusi yang digelar Aliansi Jurnalis Indonesia, FES dan DJSN kemarin di Jakarta.  Namun begitu, kata Ansori, berdasarkan Undang-Undang, semua kekurangan tersebut telah ditanggung oleh pemerintah. DPR dan pemerintah telah menyepakati dana talangan yang bisa digunakan jika uang BPJS tidak mencukupi untuk membayar. Menurutnya, kekurangan BPJS Kesehatan itu sudah bisa diprediksi dari awal. Ia pun tak mau menyebutnya defisit lantaran semua perhitungan yang telah diperhitungkan. Ansori lebih melihatnya sebagai ketidakcukupan.  "Sistem ini tidak rugi, tapi persoalannya apakah mau seperti ini terus?" tanyanya. Ansori pun berpandangan prinsip gotong royong yang seharusnya menjadi dasar dalam sistem BPJS Kesehatan tidak berjalan semestinya. Saat ini, banyak peserta BPJS yang sakit mendaftar.  Padahal, orang-orang yang masih sehat juga mendaftar. Sehingga memberikan subsidi silang bagi yang sakit.  "Kita targetkan sampai seluruh penduduk terdaftar pada 2019, suplainya harus mendekat," kata Ansori.
Ia juga menyoroti keterlambatan pembayaran BPJS. Menurutnya, keterlambatan bisa menyebabkan pelayanan berkurang. Persoalan lain yang tak kalah penting yakni kesiapan dari fasilitas kesehatan. Jumlah peserta BPJS, kata dia, tumbuh dengan cepat. Sementara pertumbuhan rumah sakit tak bisa mengimbangi. AKibatnya bisa berpengaruh terhadap penumpukan pasien.  Kepala Grup Penelitian dan Pengembangan BPJS Kesehatan Togar Siallagan mengatakan, peningkatan rumah sakit juga harus diimbangi kualitas. Karena BPJS ingin agar  RS kerja sama memenuhi standar akreditasi yang telah ditetapkan.  Ia juga menyoroti perilaku peserta BPJS yang bisa mengganggu pelayanan. "Begitu sembuh sudah tidak lagi bayar," tuturnya. (Teguh. 2016).
Salah satu yang mengalami kesulitan menggunakan kartu BPJS adalah Ardina. Perempuan yang bekerja di salah satu perusahaan di Sidoarjo itu menderita sakit selama beberapa bulan terakhir. Sebuah benjolan di perutnya terasa semakin nyeri. Dia khawatir benjolan tersebut menjadi pertanda penyakit yang lebih serius seperti kanker. Namun, hingga kini Ardina hanya berobat ke puskesmas. Itu pun hanya untuk pemeriksaan dasar. Penyebabnya, dia belum memegang kartu BPJS. Dia bukannya belum mendaftar. Ardina rutin membayar iuran BPJS sejak tahun lalu. Namun, hingga kini kartu tersebut belum bisa dipakai. ”Katanya baru bisa dipakai Juni nanti,” ujarnya.
Ardina mengaku telah mendaftar BPJS mandiri pada April 2014. Ketika itu, dia mendatangi kantor BPJS di Jalan Dharmahusada Indah No 2, Surabaya. Berkasnya telah lengkap, tetapi pengurusan tidak segera selesai. Dia pun meninggalkan kantor untuk melanjutkan urusan. Saat itu, Ardina mengira kartunya belum jadi dan akan kembali mendaftar lain waktu. Musibah pun terjadi. Pada Oktober 2014, dia mengalami kecelakaan. Ardina lalu kembali ke kantor BPJS untuk mengurus kartu. Dia sangat kaget saat mendapat informasi dari petugas bahwa kartunya terdaftar sejak April 2014. Namun, kartu itu nonaktif lantaran sudah enam bulan iurannya tidak terbayar. ”Tidak ada pemberitahuan sudah terdaftar. Kartu juga tidak dikirim, tapi premi sudah jalan,” katanya.
Akhirnya, Ardina harus membayar tunggakan Rp 800 ribu untuknya dan sang anak. Perempuan berusia 26 tahun itu pun pasrah. Tidak berselang lama, perusahaan tempatnya bekerja yang bergerak di bidang pelayaran mewajibkan seluruh karyawan menyerahkan data untuk pendaftaran BPJS. Ardina tergolong pekerja yang mutasi atau pengalihan dari BPJS mandiri ke badan usaha. Dia lalu menyerahkan semua berkas dan nomor BPJS lama. Saat itu Desember 2014. Kartu baru jadi empat bulan setelahnya. Yakni, Maret. Kartu memang sudah di tangan, tetapi Ardina kembali harus gigit jari. Kartu tersebut belum bisa dipakai. Bagian human resources development (HRD) perusahaannya angkat tangan. Ardina menghubungi kantor BPJS. Petugas beralasan, mutasi memerlukan waktu lebih lama. Dia diminta menunggu hingga tiga bulan lagi. ”Katanya Juni baru bisa. Benjolan di perut ini saya biarkan dulu. Padahal, kata dokter harus diangkat. Saya tunda sampai kartu aktif,” ungkapnya.
Penantian selama setengah tahun itu memberatkan Ardina. Sebab, gajinya terus terpotong. Tapi, dia belum pernah merasakan manfaat BPJS. Padahal, iuran yang dia bayarkan secara mandiri sejak April juga belum terhitung. Jika periksa ke puskesmas, untuk penyakit ringan seperti flu dan tekanan darah pun, dia harus membayar sendiri. ”Sedikit mangkel. Saya harap bisa lebih profesional seperti asuransi swasta yang lain. Mutasi juga bisa lebih cepat,” tegas Ardina. Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jatim Gunawan Heribertus mengatakan, bukan hanya pekerja yang kelimpungan dengan BPJS. Sebab, sejak diberlakukannya program BPJS Kesehatan pada awal tahun, banyak pengusaha yang buru-buru mendaftarkan karyawannya. Jumlah perusahaan yang sudah terdaftar di BPJS Kesehatan sekitar 78 persen dari total 9.466 badan usaha di Surabaya.
Namun, dia mengakui, banyak perusahaan yang mengalami kendala dalam menerapkan program tersebut. Terutama perusahaan-perusahaan yang memiliki asuransi mandiri selain jaminan sosial ketenagakerjaan (jamsostek). Sebab, kontrak perusahaan dengan asuransi mandiri tidak bisa diputus di tengah jalan. Akhirnya, banyak perusahaan yang meminta penundaan pendaftaran. ”Butuh waktu untuk menyelesaikan kontrak tersebut,” ungkapnya. Tidak hanya itu. Masalah lain yang muncul adalah masih ada hal yang perlu diselesaikan oleh BPJS Kesehatan dan perusahaan. Yakni, beban iuran. Dia mencatat ada sekitar 250 perusahaan yang kini bermasalah terkait dengan pelayanan kesehatan. Misalnya, perusahaan yang telah terdaftar pada Januari. Tagihan iuran selalu masuk untuk jaminan kesehatan hingga bulan ini. Tetapi, kartu tersebut belum diterima para karyawan. Apindo mencatat, ada lima permasalahan BPJS Kesehatan. Pertama, sistem pendaftaran sangat lama. Kedua, lokasi pelayanan BPJS tidak terakomodasi dengan baik. Ketiga, penagihan sistem komputerisasi. Keempat, pelayanan rumah sakit. Kelima, hubungan industrial yang kurang bagus antara pengusaha dan karyawan. Dia menyebutkan, dua masalah yang paling krusial di antara lima hal tersebut adalah pelayanan pendaftaran dan rumah sakit. Untuk pendaftaran saja, satu perusahaan setidaknya memerlukan waktu sekitar tiga jam. Banyak persoalan yang muncul saat itu. Misalnya, data karyawan hilang. Padahal, data tersebut telah dikirim ke pihak BPJS. ”Sering kali petugas BPJS meminta data lagi. Saya melihat sumber daya manusia (SDM)-nya kurang profesional,” katanya.
Begitu pula masalah pelayanan rumah sakit. Banyak karyawan yang terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan, tetapi ditolak saat berobat ke rumah sakit. Ada juga karyawan yang sudah terdaftar, tetapi belum mendapatkan kartu BPJS Kesehatan. Akibatnya, saat berobat, karyawan tidak bisa mengajukan klaim. Padahal, iuran terus diterima BPJS Kesehatan. Masalah tersebut akhirnya berimbas pada hubungan industrial yang kurang bagus. Sebab, tuntutan karyawan hanya bisa dilakukan kepada perusahaan. Padahal, urusan teknis merupakan tanggung jawab BPJS Kesehatan. Apindo telah berkoordinasi dengan BPJS Jatim wilayah VII. Hingga akhirnya, BPJS memberikan kesempatan kepada Apindo untuk menyosialisasikan pendaftaran elektronik data badan usaha (e-dabu) pada 13 April lalu. Setelah itu, dia berharap diikuti dengan perbaikan pelayanan rumah sakit. ”Upaya Apindo sendiri untuk mendorong program BPJS dengan melakukan sosialisasi tersebut,” ujarnya.
Belum selesai masalah BPJS Kesehatan, Gunawan dan para pengusaha lain harus menyiapkan diri menerapkan BPJS Ketenagakerjaan. Sebenarnya, program BPJS Ketenagakerjaan cenderung berjalan lancar. Hanya, di dalam BPJS Ketenagakerjaan ada program baru yang belum dipahami para pengusaha. Yaitu, jaminan dana pensiun. Sebelumnya, BPJS Ketenagakerjaan hanya mengatur jaminan perlindungan tenaga kerja, jaminan hari tua, dan jaminan kematian. ”Kalau ada keputusan dana pensiun, belum ada kejelasan undang-undang (UU) tentang hal itu,” keluhnya. Bahkan, aturan yang mewajibkan seluruh perusahaan mendaftarkan karyawannya sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan belum tersosialisasikan dengan baik. ”Kami sudah mendengar kabar itu. Tapi, petunjuk pelaksanaan (juklak) seperti apa, kami juga belum punya informasi yang jelas dari BPJS,” ungkapnya.
Meski begitu, Gunawan mengaku siap jika perusahaannya harus mendaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Namun, untuk dana pensiun, pemerintah harus menjelaskan kegunaannya bagi perusahaan swasta. Sebab, selama ini dana pensiun hanya diperuntukkan pegawai negeri sipil (PNS). Masalah lain yang belum klir adalah iuran dana pensiun. Apakah iuran tersebut berlaku untuk seluruh karyawan, baik lama maupun baru? Jika tidak ada kejelasan, dikhawatirkan muncul konflik internal di perusahaan. Misalnya, karyawan yang sudah 10 tahun bekerja dan karyawan baru sama-sama mendapat iuran dengan waktu yang sama. Jika itu terjadi, akan ada kesenjangan sosial. ”Karyawan lama bisa protes. Jadi, harus ada kejelasan,” tambahnya. Sementara itu, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Surabaya Jamhadi berharap semua pihak ikut memahami kesulitan pengusaha. ”Pengusaha memang tidak boleh melupakan kewajiban. Tapi, yang buruh jangan ngamukan. Pemerintah juga jangan mahal-mahal tarifnya,” ujarnya. Dia mengatakan, tingginya upah minimum kota (UMK) tahun ini cukup menyulitkan pengusaha. Sebab, kenaikan UMK otomatis membuat gaji naik. Namun, tingkat produktivitas buruh di Indonesia masih rendah. Menurut dia, angka produksi di Indonesia tidak mampu bersaing dengan negara ASEAN lain. Dia lantas mengutip data dari International Labour Organization (ILO) yang menyatakan bahwa produktivitas tenaga kerja Indonesia berada di peringkat kelima. ”Ongkos naik terus, tapi produktivitas sama,” ucapnya.
Berdasar data ILO, produktivitas tertinggi di ASEAN diduduki Brunei dan Singapura yang mencapai 100 persen. Disusul Malaysia dan Thailand di kisaran 15–33 persen. ”Bandingkan dengan Indonesia yang hanya 9,5 persen,” katanya. Masalahnya, upah per bulan di Indonesia lebih besar daripada Tiongkok, Vietnam, Kamboja, dan Myanmar. Jamhadi mengungkapkan, sebenarnya pihaknya tidak risau jika BPJS mewajibkan pengusaha mendaftarkan karyawannya. Namun, dia meminta waktu. Sebab, ada perusahaan yang telah bekerja sama dengan asuransi swasta lain. Bahkan, kerja sama itu berlaku hingga akhir tahun ini. Ada pula badan usaha yang punya klinik sendiri atau mengelola jaminan kesehatan dengan menggandeng rumah sakit swasta. Selama ini, perusahaan bisa langsung klaim jika ada kejadian. Namun, dengan BPJS, perusahaan diwajibkan mengikuti rujukan berjenjang. ”Ada perusahaan yang berasumsi BPJS memberatkan. Takut harus membayar dua kali. Ke asuransi swasta dan pemerintah,” ucapnya. Selain itu, kewajiban membayar dua tagihan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan dianggap membebani perusahaan. Terutama yang keuangan badan usahanya tidak sehat. Belum lagi ada kesepakatan antara BPJS dan kejaksaan untuk menghukum badan usaha yang tidak mendaftarkan karyawannya. Hal itu dikhawatirkan menekan pengusaha. Dia justru menyesalkan karena hingga kini BPJS tidak melibatkan Kadin. Padahal, di Surabaya saja ada ribuan perusahaan yang menjadi anggota Kadin. Jamhadi menyatakan, belum pernah ada sosialisasi dari BPJS kepada Kadin Surabaya. ”BPJS tolong lebih proaktif. Jangan hanya menyalahkan perusahaan. Jangan diultimatum. Kami ini mikir bayar pajak, listrik, dolar naik. Kami imbau tidak main ancam,” tegasnya. Saat ini, Jamhadi mengaku telah mendaftarkan karyawan perusahaannya kepada BPJS Ketenagakerjaan. Namun, belum pada BPJS Kesehatan. Pembayaran tagihan jaminan tenaga kerja dilakukan per proyek. Sebab, badan usaha yang dipimpinnya termasuk sektor jasa konstruksi. Dia mencontohkan, untuk proyek dengan nilai kontrak Rp 130 miliar, tanggungan BPJS mencapai Rp 119 juta. ”Saya dan karyawan merasa nyaman dikelola sendiri dengan asuransi swasta. Tapi, saya minta HRD untuk menjajaki kemungkinan mendaftar BPJS Kesehatan,” ujarnya. Berdasar pengalaman, dia menyebutkan, besaran iuran BPJS sebenarnya tidak berbeda jauh dengan asuransi sosial. Besarannya pun cukup logis, yakni 4,5 persen untuk BPJS Kesehatan. Sebanyak 4 persen dibayarkan pemberi kerja, sedangkan 0,5 persen sisanya ditanggung pekerja. Hanya, dia berharap BPJS memperbaiki sistem pendaftaran, rujukan, dan menyediakan fasilitas kesehatan tujuan saat karyawan sakit (Ayu. 2015).



3.      ANALISIS MASALAH

3.1. Pengertian Manajemen Risiko dan Asuransi

Manajemen
Dalam suatu organisasi, manajemen diperlukan dalam segala bidang, bentuk, serta kegiatan, dimana orang-orang saling bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Manajemen berasal dari kata “to manage” yang artinya mengatur. Manajemen adalah suatu proses perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian upaya dari anggota organisasi serta penggunaan semua sumber daya yang ada pada organisasi untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya (Kotler, 2005: 14). Manajemen adalah pengarahan suatu usaha melalui perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengendalian sumber-sumber tenaga manusia dan bahan, dijuruskan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan (Soebagio, 1999: 15). Berdasarkan beberapa definisi manajemen tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa manajemen merupakan suatu perangkat dan proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengendalian usaha baik dari pemimpin sampai anggota organisasi serta penggunaan semua sumber daya yang ada pada organisasi dalam mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.

Risiko
Istilah risiko sudah biasa dipakai dalam kehidupan sehari-hari, yang umumnya secara intuitif sudah memahami apa yang dimaksudkan. Pengertian risiko secara ilmiah sendiri sampai saat ini masih tetap beragam, yaitu antara lain: “Risiko merupakan penyebaran/penyimpangan hasil aktual dari hasil yang diharapkan” (Herman Darmawi, 1990: 20); “Risiko adalah kemungkinan hasil yang diperoleh menyimpang dari yang diharapkan” (Hanafi, 2006: 1).
Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa risiko adalah suatu ketidakpastian yang dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya akibat buruk yang tidak diinginkan.

Manajemen Risiko
Berikut ini beberapa definisi manajemen risiko organisasi: “Manajemen risiko adalah seperangkat kebijakan, prosedur yang lengkap, yang dipunyai organisasi, untuk mengelola, memonitor dan mengendalikan eksposur organisasi terhadap risiko” (Hanafi, 2006: 26); “Manajemen risiko adalah suatu proses dengan metode-metode tertentu supaya suatu organisasi mempertimbangkan risiko yang dihadapi setiap kegiatan organisasi dalam mencapai tujuan organisasi” (Siahaan, 2007: 22). Dari beberapa pengertian tersebut maka dapat ditarik kesimpulan manajemen risiko organisasi adalah pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen dalam penanggulangan risiko, terutama risiko yang dihadapi oleh organisasi dalam mencapai tujuan organisasi. Manajemen risiko mencakup kegiatan merencanakan, mengorganisir, menyusun, memimpin/mengkoordinir dan mengawasi (termasuk mengevaluasi) program penanggulangan risiko.

Proses Manajemen Risiko
1.      Perencanaan
Perencanaan manajemen risiko bisa dimulai dengan menetapkan visi, misi, dan tujuan, yang berkaitan dengan manajemen risiko kemudian bisa diteruskan dengan penetapan target, kebijakan, dan prosedur yang berkaitan dengan manajemen risiko. Keseluruhan hal tersebut dapat memudahkan pengarahan dan menegaskan dukungan manajemen terhadap program manajemen risiko. Setelah misi dan kebijakan serta prosedur yang umum ditetapkan, langkah berikutnya adalah menyusun kebijakan serta prosedur yang lebih spesifik.
2.      Pelaksanaan
Pelaksanaan manajemen risiko meliputi aktivitas operasional yang berkaitan dengan manajemen risiko. Proses identifikasi dan pengukuran risiko, kemudian diteruskan dengan manajemen (pengelolaan) risiko yang merupakan aktivitas operasional yang utama dari manajemen risiko. Manajemen risiko pada dasarnya dilakukan melalui proses-proses Identifikasi Risiko, Evaluasi dan Pengukuran Risiko, dan Pengelolaan Risiko (Hanafi, 2006: 10)
3.      Pengendalian
Tahap berikutnya dari proses manajemen risiko adalah pengendalian yang meliputi evaluasi secara menyeluruh pelaksanaan manajemen risiko, output pelaporan yang dihasilkan oleh manajemen risiko, dan umpan balik (feedback). Program manajemen risiko dengan demikian mencakup tugas-tugas: mengidentifikasi risiko-risiko yang dihadapi, mengukur atau menentukan besarnya risiko tersebut, mencari jalan untuk menghadapi atau menanggulangi risiko, selanjutnya menyusun strategi untuk memperkecil ataupun mengendalikan risiko, mengkoordinir pelaksanaan penanggulangan risiko serta mengevaluasi program penanggulangan risiko yang telah dibuat. Fokus manajemen risiko adalah mengenal pasti risiko dan mengambil tindakan yang tepat terhadap risiko. Tujuannya adalah secara terus menerus menciptakan/menambah nilai maksimum kepada semua kegiatan organisasi. Kegiatan apapun yang dilakukan harus dapat menciptakan nilai tambah (Siahaan, 2007: 22).

Bazzarello, D., Crielaard, B., Piacenza, F. and Soprano, A. (2006), menjelaskan beberapa hal yang harus diperhatikan oleh manajer risiko dalam menilai suatu risiko asuransi adalah a) Exposure, merupakan risiko kerugian maksimum yang harus dihadapi apabila terjadi suatu kejadian terburuk. b) Volatility, semakin bervariasi hasil yang akan terjadi pada masa yang akan datang, maka semakin besar risikonya. c) Probability, merupakan kemungkinan terwujudnya kejadian yang mengandung risiko. Semakin besar probabilitas dari kejadian berisiko, maka semakin besar risikonya. d) Severity, berbeda dengan exposure yang menekankan pada kerugian maksimum, severity menekankan pada kerugian yang sekiranya akan dialami. e) Time Horizon, semakin lama jangka waktu suatu investasi, maka tingkat risiko akan semakin besar. f) Correlation, jika risiko yang dihadapi saling berhubungan, maka risiko yang dihadapi perusahaan akan semakin besar. g) Capital, perusahaan menyimpan modal untuk 2 (dua) alasan utama, yaitu untuk memenuhi kebutuhan kas (cash-flow) dan untuk menutupi kerugian yang tidak diperkirakan sebelumnya akibat.



3.2. Basic Principles of Insurance
Ada beberapa prinsip dasar asuransi. Industri asuransi baik asuransi kerugian maupun asuransi kesehatan memiliki prinsip-prinsip yang menjadi pedoman bagi seluruh penyelenggaraan kegiatan perasuransian dimanapun berada. Prinsip-prinsip yang terdapat dalam sistem hukum asuransi tersebut antara lain :

A.    The Utmost Good Faith
  1. Non insurance contracts:
Pada umumnya kontrak perdagangan/komersial mengacu pada doktrin ‘caveat emptor’ (pembeli bebas mengetahui kondisi barang/jasa yang akan dibelinya).
Dalam kontrak komersial ini masing-masing pihak dapat meneliti atau mengetahui lebih dahulu barang atau jasa yang akan diperjual belikan. Sejauh tidak ada unsur jebakan atau tipuan oleh pihak lain dan keterangannya adalah benar, maka tidak ada alasan untuk membatalkan kontraknya. Dalam negosiasi ini keterangan diberikan kalau ada permintaan dari pihak yang melakukan negosiasi.
  1. Insurance contracts:
    • Semua fakta mengenai resiko yang lebih banyak mengetahui adalah tertanggung,  sedangkan penanggung tidak banyak mengetahui, kecuali kalau tertanggung  menjelaskannya.
    • Proposer wajib memberikan keterangan mengenai resiko.
    • Penanggung tidak dapat mendeteksi resiko secara keseluruhan
    • Penanggung dapat melakukan survey untuk mengumpulkan data-data tapi belum juga sempurna karena tertanggung lebih mengetahui tentang fakta yang tak  terlihat
    • Untuk mendapatkan posisi yang seimbang dalam perjanjian yang fair maka kedua  belah pihak harus diterapkan kewajiban “Uberrima fides or Utmost Good Faith”
    • -  Contractnya merupakan perjanjian dengan itikad sangat baik dan jujur
  2. Reciprocal duty
    Tanggung jawab/kewajiban juga ada pada penanggung (Carter V. Boehm 1766) dan penanggung tidak boleh menyembunyikan informasi yang menjadikan tertanggung kurang beruntung dalam kontrak asuransi ini. Contoh:
1.      sprinkler system berhak mendapatkan discount
2.      tidak menerima asuransi yang benar yang tidak sejalan dengan hukum
3.      tidak membuat pernyataan yang tidak benar selama negosiasi
                         
Definisi:
Utmost good faith means a positive duty to voluntarily disclose, accurately and fully, all facts material to the risk being proposed, whether asked for them or not.
Material facts.
Menurut MIA 1906, Every circumstances is material which would influce the jugdement of a prudent insurer in fixing the premium or determining whether he will take the risk”
Fakta yang harus diungkapkan
Fakta-fakta yang mempengaruhi penanggung dalam akseptasi atau penolakan resiko atau dalam penetapan premi atau kondisi dan persyaratan kontrak, adalah material dan harus diungkapkan kepada penanggung, antara lain:
1.      Fakta yang berdasarkan faktor internal menunjukkan resikonya lebih besar dari yang diperkirakan dari sifat atau kelompoknya;
2.      Fakta dari faktor eksternal menjadikan resikonya lebih besar dari yang normal;
3.      fakta yang membuat kemungkinan jumlah kerugian lebih besar dari yang diperkirakan;
4.      Data kerugian dan klaim dari polis terdahulu;
5.      Penolakan yang pernah dilakukan atau persyaratan yang dikenakan oleh penanggung lainnya;
6.      Fakta yang membatasi hak subrogasi;
7.      Adanya polis non indemnity
8.      Fakta lainnya yang berkaitan dengan subject matter of insurance;
Contoh fakta yang harus diungkapkan:
1.      asuransi kebakaran : bentuk konstruksi bangunan dan penggunaannya;
2.      asuransi kecurian : sifat dan nilai barang stock;
3.      asuransi motor : para pengemudi lainnya selain tertanggung yang akan menggunakan motor itu;
4.      asuransi marine cargo: barang konsinyasi yang akan dibawa;
5.      asuransi jiwa : penyakit yang pernah diderita
6.      kecelakaan diri : riwayat penyakit yang memungkinkan timbulnya kecelakaan
7.      asuransi lainnya : pengalaman kerugian dan semua fakta yang dapat diketahui
atau diperkirakan oleh tertanggung, misalnyaa pemilik rumah harus mengetahui penggunaan bangunan oleh penyewanya.
Fakta yang tidak harus diungkapkan. Dalam hal-hal tertentu, underwriter dianggap telah mengetahui fakta-fakta yang ada sehingga walaupun fakta itu materiil tidak harus diungkapkan oleh tertanggung, yaitu:
  1. Fakta yang telah dinyatakan dalam peraturan perundangan;
  2. Fakta yang underwriter dianggap telah mengetahui, yaitu fakta yang secara umum  orang telah mengetahui, misalnya bangunan yang akan diasuransikan itu berada  dalam zona gempa bumi;
  3. Fakta yang mengurangi resiko; misalnya pemasangan sistem alarm atau sprinkler  dalam bangunan;
  4. Fakta yang telah ditanyakan oleh underwriter, misalnya data klaim yang lampau;
  5. Fakta yang telah disurvey oleh underwriter;
  6. Fakta yang dijamin dalam kondisi polis: suatu fakta yang secara expressed atau  implied warranty harus dilakukan oleh tertanggung, misalnya adanya alarm keamanan yang selalu harus dipelihara;
  7. Fakta yang pemohon tidak mengetahuinya: seseorang tidak dapat dituntut untuk mengungkapkan sesuatu yang tidak diketahuinya;
  8. fakta yang menyangkut diri pemohon yang sedang dalam rehabilitasi berdasarkanvRehabilitation of Offenders Act 1974


B.     Indemnity
  1. Definisi:
    Indemnity as a mechanism by which the insurer provide financial compensation in an attempt to place the insured in the same pecuniary position after the loss as he enjoyed immediately before it.
Dalam kontrak asuransi, indemnity dapat diartikan sebagai kompensasi finansiil yang pasti yang cukup menempatkan tertanggung dalam posisi keuangan tertanggung sesudah kerugian sebagaimana yang ia alami segera sebelum peristiwanya terjadi.
  1. Hubungan antara indemnity dan insurable interest:
    • Hubungan antara indemnity dengan insurable interest bahwa kepentingan
tertanggung terhadap sesuatu yang diasuransikan adalah sesuatu yang sebenarnya
diasuransikan.
    • Penggantian tidak akan lebih dari insurable interest
    • Indemnity sangat erat hubungannya dengan perhitungan keuangan
    • Menjadi susah untuk kontrak asuransi jiwa dan personal accident.
Asuransi jiwa dan personal accident bukan kontrak indemnity karena tidak bisa dihitung dengan uang
C. Insurable Interest
  1. Konsep insurable interest.
Tidak semua resiko dapat diasuransikan. Resiko yang dapat diasuransikan (insurable risk) harus memenuhi karakteristik:
    • Nilainya dapat diukur secara finansial (financial measurement)
    • Pure risk
    • Particular & fundamental risk
    • Fortuitous
    • Homogenous exposure
    • Reasonable premium
    • Not against public policy
    • Insurable interest. Insurable interest adalah salah satu syarat agar suatu resiko dapat dikategorikan sebagai insurable risk. Apabila tidak ada insurable interest, maka tertanggung tidak dapat mengasuransikan.
  1. Subject matter of insurance.
Subject matter of insurance dapat berbentuk barang (property) atau kejadian yang secara hukum dapat menimbulkan kerugian (loss of a legal right) atau. tanggung jawab hukum (a legal liability). Contoh:
·         Subject matter of insurance dalam polis kebakaran : gedung, barang dagangan atau mesin. Subject matter of insurance dalam polis liability : tanggung jawab hukum seseorang atas kecelakaan atau kerusakan
·         Subject matter of insurance dalam polis marine : kapal, muatannya atau bisa juga tanggung jawab pemilik kapal atas kecelakaan atau kerugian yang menimpa pihak ketiga. Untuk menentukan insurable interest, dalam kontrak asuransi, yang diasuransikan bukannya bangunan, kapal, mesin atau tanggung jawab hukum pada pihak ketiga, melainkan kepentingan keuangan tertanggung (pecuniary interest of the insured) atas rumah, kapal, mesin, atau atas kepentingan keuangan tertanggung terhadap orang yang diasuransikan.
  1. Subject matter of contract. Subject matter of contract adalah suatu nama yang diberikan pada kepentingan keuangan yang dimiliki seseorang dalam subject matter of insurance. Dasar hukum : Castellain preston (1883). Apa yang dipertanggungkan dalam asuransi kebakaran?. Bukan batu atau material yang dipakai dalam bangunan tetapi kepentingan tertanggung pada objek pertanggungan tersebut.
  2. Definisi insurable interest: Insurable interest merupakan “the legal right to insure arising out of a financial relationship, recognized at law, between the insured and the subject matter of insurance”
  3. Essentials of insurable interest. Unsur-unsur pokok dari insurable interest adalah:
1.      Harus ada benda, hak, kepentingan, jiwa, tanggung jawab yang dapat
diasuransikan
2.      Benda, hak, kepentingan dan sebagainya harus merupakan objek yang
diasuransikan (subject matter of insurance)
3.      Tertanggung harus mempunyai hubungan dengan objek yang dipertanggungkan di mana dia memperoleh manfaat atas keutuhannya, dan mengalami kerugian atas rusaknya atau hilangnya subject matter of insurance
4.      hubungan antara tertanggung dan subject matter of insurance harus diakui/sah
secara hukum
  1. Tambahan keempat unsur tersebut timbul dari sengketa antara Macaura v. Northern Assurance Company (1925). Macaura memiliki polis kebakaran untuk sejumlah kayu di pekarangannya. Ia telah menjual kayu tersebut kepada perusahaan, di mana ia sebagai pemegang saham perusahaan tersebut. Kayu tersebut kemudian terbakar dan klaim kepada perusahaan asuransi ditolak, atas dasar bahwa Macaura tidak lagi memiliki kepentingan asuransi atas kayu yang telah menjadi asset perusahaannya, walaupun ia adalah pemegang sahamnya.

D.    Subrogation
Definisi subrogasi.
Subrogation is a right of one person, having indemnified another under a legal obligation to do so, to stand in the place of that another and avail himself of all rights and remedies of that other, whether already enforced or not. Dalam kasus Burnand v. Rodonachi, prinsip subrogasi diketengahkan di mana asuradur yang telah memberikan indemnity, berhak menerima kembali dari tertanggung sesuatu yang diterima tertanggung dari sumber lain. Hal yang mendasar adalah bahwa tertanggung berhak atas indemnity tapi tidak boleh lebih dari itu. Subrogasi membolehkan asuradur menggantikan kedudukan tertanggung dalam memperoleh keuntungan atas adanya kejadian yang dijaminkan.
Corollary of indemnity.
Subrogation merupakan pendukung konsep indemnity karena subrogasi mencegah tertanggung untuk mendapatkan recovery lebih dari kerugian yang dideritanya. Kasus hukumnya adalah Castellain v. Preston (1833) di mana dalam kasus ini Preston melakukan transaksi jual rumah sewaktu rumah itu terbakar. Ia kemudian memperoleh penggantian dari asuradurnya, Liverpool London and Globe, dan selanjutnya selagi perbaikan rumah tersebut dilakukan, ia juga menerima sepenuhnya harga beli dari Rayner. Kontrak jual beli mana membawa kewajiban bagi Rayner untuk membayar seharga 3.100 pound sekalipun rumah telah rusak dan belum diperbaiki. Castellain atas nama beberapa asuradur, berhasil menuntut sejumlah pembayaran yang telah diberikan kepada Preston.
Dalam penerimaan sejumlah tadi, Preston telah menuntut hak terhadap Rayner. Recovery dari Preston sejumlah 330 pound, yang merupakan perkiraan biaya perbaikan, adalah suatu contoh suatu asuradir mengambil manfaat untuk dirinya atas hak yang telah dilakukan oleh tertanggung
. Biasanya, jika tertanggung telah diberikan indemnity oleh asuradur, tertanggung belum akan melakukan tuntutan untuk meminta recovery yang ada dari pihak ketiga kalau tidak diminta oleh asuradir.
Dalam kontrak asuransi jiwa yang bukan merupakan kontrak indemnity, subrogasi tidak diberlakukan dan apabila ahli waris tertanggung dapat memperoleh recovery dari pihak ketiga yang melakukan kelalaian, di samping memperoleh pembayaran sejumlah uang dari asuradur.
  1. Perluasan hak subrogasi. Mengingat hubungan antara subrogasi dan indemnity, seorang asuradur dapat memperoleh recovery dari apa yang telah dibayarkannya kepada tertanggung.
3.      Timbulnya hak subrogasi. Hak subrogasi dapat timbul dari:
Tort, adalah kesalahan yang sifatnya perdata (civil wrong), yang merupakan  bagian dari common law Inggris, dan bukan merupakan tindakan kriminal. Macam-macam tort:
·         Neglience (kelalaian).
Definisi neglience:. “The omission to do something which a reasonable man, guided upon those consideration which ordinarily regulate the conduct of human affairs, would do, or doing something which a prudent and reasonable man would not do” (Blyth v. Birmingham Waterworks Co., 1856). Contoh : mobil tertanggung mengalami kerusakan akibat tabrakan yang disebabkan oleh kelalain pihak ketiga, maka penanggung setelah membayar indemnity kepada tertanggung, dapat menggunakan hak subrogasi untuk menuntut recovery dari pihak ketiga.
·         Nuisance, merupakan gangguan terhadap hak seseorang untuk menikmati fasilitas yang ia miliki. Contoh : Di jalan ada galian jalan oleh kontraktor. Karena tidak ada tanda pengamanan, mobil tertanggung masuk ke lubang dan rusak. Tertanggung bisa minta penggantian dari asuransi dan asuransi mempunyai hak subrogasi kepada kontraktor tersebut (public nuisance). Di sebelah rumah tertanggung ada proyek gedung yang menggunakan hammer yang menyebabkan getaran dan rumah tertanggung menjadi rusak/retak (private nuisance).
·         Trespass, misalnya memasuki halaman dan rumah orang tanpa ijin termasuk penganiayaan dan mengambil harta benda milik orang lain.
Contoh : Mobil tertanggung dicuri dan minta penggantian dari asuransi. Perusahan asuransi punya hak untuk mengejar pencuri dan minta ganti rugi.
·         Strict liability. Contoh : Di suatu kompleks perumahan, seseorang menyimpan barang yang tidak semestinya dalam jumlah yang banyak, misalnya bensin. Apabila bensin terbakar dan membakar rumah orang lain, maka ia bertanggung jawab terhadap kerugian orang lain.
·          Defamation
Terbagi menjadi slander (lisan) dan libel (tulisan)
Contoh : rekaman acara televisi yang merusak nama orang lain (libel, karena sifatnya permanen)
.

3.3. Law of Large Numbers

Law of Large Numbers adalah suatu konsep statistik yang menghitung jumlah rata-rata kejadian/resiko dalam sebuah sample atau populasi untuk memprediksi sesuatu. Semakin besar populasi yang dihitung, maka prediksinya akan semakin tepat. Dalam bidang asuransi, Hukum Bilangan Besar ini digunakan untuk memprediksi resiko kerugian atau klaim dari sejumlah peserta sehingga preminya bisa dihitung dengan tepat.

Penerapan dalam Asuransi
Ketika diterapkan dalam asuransi, hal ini berarti semakin besar jumlah orang yang diasuransikan, kerugian yang akan dialami cenderung mendekati kerugian yang diperkirakan. Risiko dan ketidakpastian berkurang dengan meningkatnya jumlah orang yang diasuransikan. Jadi, semakin besar kelompok yang diasuransikan, kerugian akan semakin bisa diperkirakan atas kelompok tersebut.
Dengan menerapkan hukum ini, perusahaan asuransi bisa menentukan tingkat mortalita (frekuensi kematian) dan tingkat morbidita (tingkat sakit, cedera dan terjadinya gagal kesehatan) dari orang yang diasuransikan.
Tingkat mortalita dan morbidita digunakan dalam perhitungan tingkat premi asuransi perusahaan ke berbagai jenis produk asuransi yang diterbitkan.
Employee benefits adalah program kesejahteraan karyawan di luar gaji. Perusahaan bonafid adalah perusahaan, tempat bekerja yang dapat diandalkan. Jadi, suatu perusahaan dapat dikatakan bonafid apabila telah menyediakan program employee benefits (program kesejahteraan karyawan). Kompensasi tambahan yang bertujuan untuk memacu loyalitas dan produktivitas karyawan dalam bekerja, itulah inti dari program employee benefits. Employee benefits disediakan untuk melengkapi gaji pokok karyawan. Jadi, employee benefits merupakan kompensasi tidak langsung di luar gaji yang diberikan kepada karyawan untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan.

3.4. Jaminan Sosial

Kemiskinan dan ketimpangan sosial adalah dua isu sentral dalam wacana perumusan dan pengembangan kebijakan sosial (social policy). Dalam literatur pekerjaan sosial (social work), jaminan sosial (social security) merupakan salah satu jenis kebijakan sosial untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan dalam masyarakat. Setiap negara memiliki definisi, sistem, dan pendekatan yang berbeda dalam mengatasi kemiskinan dan ketimpangan, dan karenanya, memiliki sistem dan strategi jaminan sosial yang berbeda pula. Jaminan sosial umumnya diimplementasikan ke dalam berbagai bentuk tunjangan pendapatan secara langsung (income support) yang terkait erat dengan kebijakan perpajakan dan pemeliharaan pendapatan (taxation and income-maintenance policies). Namun demikian, jaminan sosial kerap meliputi pula berbagai skema peningkatan akses terhadap pelayanan sosial dasar, seperti perawatan kesehatan, pendidikan, dan perumahan (lihat Huttman, 1981; Gilbert dan Specht, 1986; Cheyne, O’Brien dan Belgrave, 1998). Jaminan sosial yang berbentuk tunjangan pendapatan dapat disebut benefits in cash, sedangkan yang berwujud bantuan barang atau pelayanan sosial sering disebut benefits in kind (Shannon, 1991; Hill, 1996; MHLW, 1999).
Kata “Jaminan sosial” berasal dari kata social dan security. Security diambil dari Bahasa Latin “se-curus” yang bermakna “se” (pembebasan atau liberation) dan “curus” yang berarti (kesulitan atau uneasiness). Sementara itu, kata “social” menunjuk pada istilah masyarakat atau orang banyak (society). Dengan demikian, jaminan sosial secara harafiah adalah “pembebasan kesulitan masyarakat” atau “suatu upaya untuk membebaskan masyarakat dari kesulitan.”
Jaminan sosial (social security) dapat didefinisikan sebagai sistem pemberian uang dan/atau pelayanan sosial guna melindungi seseorang dari resiko tidak memiliki atau kehilangan pendapatan akibat kecelakaan, kecacatan, sakit, menganggur, kehamilan, masa tua, dan kematian.

3.5. Personal Risk dan Employee Benefit.

Personal risk diartikan sebagai risko yang akan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam memberikan pendapatan. Misalnya risiko harus dirawat di rumah sakit karena menderita sakit serius, atau risiko untuk dianggap terlalu tua untuk dapat dipekerjakan, dan sebagainya. Sedangkan property risks adalah risiko yang ada pada seseorang apabila seseorang itu memiliki sesuatu, yaitu kemungkinan bahwa apa yang dmiliki itu akan hilang, dicuri orang atau rusak. Misal seseorang memiliki sepeda, akan menghadapi kemungkinan bahwa barang itu akan hilang atau rusak. Kerugian yang timbul disini dapat dibedakan lagi kedalam kerugian yang langsung (direct loss) dan kerugian yang tidak langsung (indirect loss/consequential loss).



3.6. Fungsi Asuransi.

Fungsi asuransi dapat digolongkan dalam 3 fungsi, yaitu primary function, subsidiary function dan other related function.
A.    Primary function (fungsi primer)
1.      Risk Transfer
Asuransi adalah mekanisme pengalihan risiko, di mana perorangan atau badan usaha dapat mengalihkan sesuatu yang tidak pasti kepada pihak lain, dengan sejumlah premi yang relatif kecil dibandingkan dengan kemungkinan kerugian, ketidakpastian kerugian itu diahlihkan kepada asuransi.
2.      Common Pool
Pada awal timbulnya marine insurance, para pedagang waktu itu bersepakat untuk memberikan kontribusi terhadap kerugian (karena risiko laut) yang dialami oleh seseorang di antara mereka. Praktek demikian tidak sepenuhnya mengalihkan risiko tetapi hanya mengurangi risiko.
Dalam perkembangannya kontribusi itu ditetapkan pada awal sebelum timbul kerugian, sehingga masing-masing sudah bisa mengetahui pasti beban kontribusi, yaitu membayar apa yang disebut premi. Premi tersebut diterima dan dikumpulkan dalam suatu fund atau pool serta dikembangkan untuk menanggulangi klaim yang terjadi
3.      Equitable Premiums
Dengan asumsi bahwa pengalihan risiko telah dilakukan melalui common pool, fungsi utama yang ketiga adalah kontribusi yang harus dibayar oleh masing-masing peserta harus fair.
Tingkat risiko yang dialami oleh setiap peserta bisa berbeda, misalnya untuk bangunan yang terbuat dari kayu memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan bangunan dari batu. Pengemudi yang berumur 18 tahun lebih tinggi risikonya dibandingkan dengan pengemudi yang berumur 50 tahun.
Demikian juga nilai barang yang dipertanggungkan tidak selalu sama. Perbedaan mengenai tingkat hazard dan nilai itu akan membawa konsekuensi besarnya kontribusi (premi) yang dibebankan. Hal-hal semacam ini yang sekarang menjadi dasar para underwriter dalam menetapkan tingkat premi.

B.     Subsidiary function (fungsi subsider)

1.      Stimulus to business enterprise
Fungsi sebagai pendorong usaha tergambar dalam kegiatan asuransi melakukan investasi yang berasal dari dana asuransi. Selain itu dengan asuransi dapat memberikan keberanian para investor untuk membangun usaha baru atau mengembangkan usahanya.
2.      Loss prevention
Tenaga surveyor asuransi banyak memperoleh pelatihan dan pengalaman dalam melakukan identifikasi suatu risiko menjadikan dirinya memiliki kemampuan untuk memberikan saran pencegahan kerugian.
Fungsi sebagai loss prevention tergambar dalam saran yang direkomendir oleh surveyor asuransi untuk melakukan hal-hal yang dapat mencegah terjadinya kerugian.
Surveyor asuransi pencurian dapat memberikan saran adanya pemasangan alat detektor yang dapat mencegah atau menghambat pencuri. Surveyor asuransi liability (liaiblity insurance) dapat memberikan saran dalam pencegahan tuntutan publik akibat kondisi kerja atau produksi
3.      Loss control
Rekomendasi dari surveyor asuransi bukan saja terbatas pada pencegahan kerugian tetapi juga memberikan rekomendasi cara untuk mengurangi kerugian. Saran memenuhi persyaratan konstruksi bangunan, pemasangan sprinkler, alarm, merupakan upaya untuk mengendalikan kerugian apabila risiko terjadi. Surveyor tidak mungkin dapat mencegah pencuri masuk, tetapi surveyor dapat menyarankan sesuatu yang dapat membatasi, mempersulit, menghambat, atau memperlambat langkah pencuri.

4.      Manfaat sosial (social benefits)
Klaim yang dibayarkan oleh asuransi memungkinkan pengusaha dapat membangun kembali pabrik/usahanya, sehingga dapat menghindari adanya pemutusan hubungan kerja akibat pabrik terbakar. Kegiatan asuransi itu sendiri menciptakan lapangan kerja.
Melalui asuransi, dapat disediakan dana untuk mengatasi masalah sosial, misalnya satuanan orang cacat, janda, yatim.

C.     Tabungan (savings)
Dalam produk asuransi jiwa khususnya endowment insurance menjamin pembayaran baik meninggal atau hidup di akhir kontrak, pembayaran yang diterima tertanggung pada akhir kontrak pada dasarnya merupakan akumulasi premi ditambah dengan bunga. Other related function

1.      Dana investasi (investment of funds)
Himpunan dana asuransi (premi) yang disediakan untuk membayar klaim, merupakan sumber dana investasi yang menimbulkan kegiatan investasi dalam pasar uang dan pasar modal.
2.      Pendapatan jasa (invisible earnings)
Transaksi asuransi dan reasuransi terjadi dalam jangkauan yang luas antar negara. Suatu negara yang banyak menerima pendapatan premi dari negara lain merupakan penghasilan negara yang bersangkutan dari perdagangan jasa.
Di Indonesia yang terjadi adalah sebaliknya. Perusahaan asuransi di Indonesia banyak yang menempatkan reasuransi di luar negeri, sehingga neraca perdagangan kita defisit karena pembayaran premi merupakan penerimaan bagi luar negeri dan pengeluaran bagi Indonesia.
Sebabnya antara lain:
-  Lack of technology dan knowledge
- Tidak adanya integritas pengusaha asuransi Perusahaan asuransi di Indonesia membayar klaim dari hasil reasuransi di luar negeri sehingga fungsi perusahaan asuransi hanya sebagai agen/broker saja.
-  konsumen masih luar negeri minded (lack of nationalism), sehingga memilih. perusahaan asuransi luar negeri.

3,7. Analisis Kasus
           
            Masalah defisit penyelenggaraan BPJS Kesehatan dan BPJS ketenagakerjaaan dari mulai kesenjangan antara suplai pendanaan dan pengeluaran hingga ketidaksiapan struktur fasilitas kesehatan serta masih banyaknya tenaga kerja yang mengikuti BPJS ketenagakerjaan tidak mersakat manfaatnya. Hal ini perlu disikapi lebih lanjut karena BPJS merupakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial negara yang seharusnya dapat memberikan manfaat bagi masyarakat indonesia. Pembenahan manajemen perlu di lakukan oleh BPJS. Kesalahan akibat dari kesenjangan pendaan dan pengeluaran merupakan kesalahan BPJS dalam manajemennya. Transformasi PT Askes dan PT Jamsostek sejak 1 Januari 2014 menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan masih mengalami kendala di lapangan. Misalnya di BPJS Kesehatan, Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) yang baru mendaftar mengalami kendala berupa penundaan masa aktivasi kepesertaan dari 7 menjadi 14 hari. Sedangkan BPJS Ketenagakerjaan masih menghadapi kendala regulasi teknis yang belum terbit seluruhnya.
      Lima masalah terkait BPJS dengan sistem informasi di pihak peserta, pengelola, PPK I II III dan usulan pemecahan masalahannya.

1.      Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengaudit program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, hasilnya terlihat pada data peserta dan obat yang tidak ditanggung BPJS Kesehatan. Kemenkes merevisi beberapa regulasi yang memang malah menghambat pelayanan seperti merevisi aturan jenis penyakit yang bisa langsung ke RS.
2.      Ketidakjelasan tentang status kepesertaan Proses registrasi bagi peserta yang terkesan sulit karena disetiap kabupaten tidak bisa bisa diakses padahal sudah memiliki token. Proses mutasi dari peserta askes dan peserta JPK (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Jamsostek) ke BPJS Kesehatan, selama ini banyak permasalahan terkait peralihaan data. Peserta JPK Jamsostek harus mendaftar ulang ke BPJS Kesehatan, padahal seharusnya otomatis. Transformasi JPK Jamsostek ke BPJS Kesehatan meninggalkan peserta JPK Pekerja Mandiri yang tidak otomatis menjadi peserta BPJS Kesehatan. Padahal sesuai UU 24/2011 tentang BPJS sangat jelas dinyatakan peserta JPK Jamsostek otomatis menjadi peserta BPJS Kesehatan.
3.      Validitas data kepesertaan juga masih belum sempurna. Kartu peserta belum terdistribusikan seluruhnya. Status kepesertaan gelandangan, pengemis, orang telantar, penderita kusta, penderita sakit jiwa, penghuni lembaga pemasyarakatan dan calon tahanan yang tidak jelas pertanggungjawabannya. BPJS juga belum punya lembaga yang mengurusi kepuasan peserta dan respon pengaduan masyarakat. “Sistem teknologi informasi BPJS belum berjalan dengan baik dan maksimal.
4.      Kurangnya sosialisasi tentang regulasi à hal regulasi para stakeholders dilihat belum paham betul regulasi Jaminan Kesehatan Nasional. Pedoman pelaksanaannya juga belum dijabarkan secara lengkap dan jelas.
5.      Belum optimalnya pelayanan dan hasil evaluasi DJSN meliputi belum berjalan secara baik mekanisme rujukan, rujukan berjenjang, rujukan parsial dan rujukan balik, belum memadai kapasitas fasilitas kesehatan primer, belum optimal pelayanan kepada peserta, dan belum lengkap e-katalog 2014. Bagi peserta sebagian besar merasakan kurang puas akan pelayanan, seperti hak peserta askes dan jamsostek dikurangi terkait berbedanya obat yang dapat diklaim dari jamsostek ke BPJS. Tidak berlakunya jampersal di BPJS. Dalam hal manfaat, DJSN melihat Jaminan Sosial Kesehatan oleh BPJS justru berimbas pada penurunan manfaat yang dirasakan oleh peserta lama (seperti peserta Jamsostek dan Askes).
6.       Kekurangan sumberdaya manusia (SDM) seperti tenaga medis, perekam medis dengan coding INA-CBG’s, perekam medik dan dokter harus paham benar mengenai apa itu International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems 9 ( ICD 9) dan ICD 10. Para perekam medik harus terampil dalam membuat klarifikasi penyakit dan tindakan sesuai dengan ICD 9 dan ICD 10 sistem BPJS dengan cepat dan tepat.
7.       Permasalahan masih didominasi ketidaksiapan pemerintah dan BPJS Kesehatan –sebelumnya bernama PT Askes (Persero) dalam menyelenggarakan jaminan sosial bagi masyarakat àKeterlambatan pembuatan regulasi operasional seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Peraturan Menteri Kesehatan berkontribusi, sehingga menimbulkan masalah di lapangan.

Pemecahan masalah

1.      Harus dibuat standar operasional pelayanan, misalnya pendataran peserta berapa lama, berapa lama follow up pengaduan peserta.
2.      Pendaftaran BPJS Kesehatan dilakukan di Puskesmas-Puskesmas atau rumah sakit-rumah sakit yang mudah diakses masyarakat.
3.      Master file data kepesertaan harus segera dibuat, distribusi kartu peserta dituntaskan dan segera berkoordinasi dengan Kemendagri untuk penggunaan Nomor Induk Kependudukan untuk kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional.
4.      Hal yang harus dibenahi tidak hanya aturan. Melainkan, masalah pengawasan terhadap pelaksanaan program JKN karena berbagai aturan program BPJS Kesehatan dibuat tergesa-gesa, sedangkan sosialisasi terhadap peraturan dinilai kurang yang hanya mengejar target pelaksanaan.Peraturan yang perlu ditambah hanya mekanisme pengawasan saja. Misalnya, orang yang darurat itu harus diatasi serta peraturan tanggungjawab Pemda dan pemerintah pusat yang sekarang pelayanan perlu dimaksimalkan saja.
5.      Penyelesaian petunjuk teknis, salah satunya penggunaan dana kapitasi. Karena otoritas tanggungjawab Kemenkes adalah bagaimana penggunaan hasil kapitasi dari puskesmas.
6.      Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan agar segera melakukan penyusunan pedoman pelayanan dan peninjauan ulang atas regulasi yang disharmoni.
7.      Dalam hal pelayanan, sebaiknya segera dilakukan penyusunan pedoman rujukan sosialisasi kepada fasilitas kesehatan, sekaligus melakukan pembaharuan data fasilitas kesehatan. Kemudian yang terpenting adalah, BPJS segera melakukan sosialisasi tentang adanya program Jaminan Kesehatan Nasional kepada seluruh masyarakat Indonesia.
8.      Hal yang perlu di evaluasi oleh pihak BPJS seperti (a) tarif INA-CBGs yang terlalu rendah pada beberapa bagian ilmu penyakit (b) belum adanya standar clinical pathway atau pedoman SOP dokter di rumah sakit (c) Masalah harga obat dan kepastian distribusi obat.

Dampak Penetapan Anggaran PBI Jaminan Kesehatan terhadap Keuangan Negara dan Pelayanan Kesehatan

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, besaran iuran dana PBI antara usulan tim DJSN, Jamsostek, Askes, dan IDI berbeda dengan besaran iuran PBI Jaminan Kesehatan yang akhirnya ditetapkan oleh pemerintah. Pemerintah telah menganggarkan dana sebesar Rp19,932 triliun dalam pelaksanaan program SJSN. Dana tersebut digunakan untuk membayar premi sebesar Rp19.225 per orang penerima bantuan iuran selama 12 bulan. Walaupun anggaran untuk kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah untuk tahun anggaran 2008-2013 terus mengalami peningkatan rata-rata 4,5% per tahun. Namun, peningkatan tersebut cenderung setara dengan tingkat inflasi dalam kurun waktu tersebut kecuali untuk semester akhir tahun 2013 dan tahun 2008 dengan tingkat inflasi masing-masing berada pada kisaran 8% dan 11%.
Pada bagian terdahulu telah dijelaskan mengenai perbedaan usulan skema tarif baik dari tim DJSN, Jamsostek, Askes, dan IDI. Pertanyaan selanjutnya lantas berapakah tarif yang wajar atau pantas ditetapkan untuk penentuan besaran iuran PBI Jaminan Kesehatan oleh BPJS ini? Jawaban atas pertanyaan tersebut akan berbeda-beda karena banyaknya standar tarif yang ada saat ini selain isu mengenai Equity dan Quality, mana yang harus didahulukan. Prinsip Equity mensyaratkan jaminan kesehatan bersifat universal dengan mencakup seluruh penduduk, sedangkan prinsip Quality menyatakan bahwa jumlah dana yang ditetapkan harus cukup untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang memadai. Pada beberapa waktu yang lalu muncul wacana untuk menyesuaikan besaran iuran PBI dengan tarif berdasarkan INA-CBG seluruhnya. Apa yang berjalan saat ini, pembayaran JKN secara garis besar dibagi menjadi dua. Untuk fasilitas kesehatan primer (meliputi pengobatan oleh Puskesmas, dokter praktek, bidan praktek, klinik pratama, RS pratama) akan menggunakan Kapitasi. Sedangkan untuk pengobatan tertentu yang tercakup dalam fasilitas kesehatan lanjutan perhitungan standard biayanya mengikuti standar biaya berdasarkan INA-CBG.
Kapitasi adalah metode pembayaran untuk jasa pelayanan kesehatan dimana Pemberi Pelayanan Kesehatan (dokter atau rumah sakit) menerima sejumlah tetap penghasilan per peserta, per periode waktu (bulanan), untuk pelayanan yang telah ditentukan per periode waktu. Kapitasi didasari dari jumlah tertanggung (orang yang diberi jaminan atau anggota) baik dalam keadaan sakit atau dalam keadaan sehat yang besarnya dibayarkan di muka tanpa memperhitungkan jumlah konsultasi atau pemakaian pelayanan di PPK tersebut.
Namun penggunaan sistem kapitasi memungkinkan timbulnya underutilization atau pengurangan fasilitas dan kualitas pelayanan agar penyedia layanan bisa mendapat keuntungan sebesar-besarnya.
Berbeda dengan sistem kapitasi, pada INA-CBG menggunakan casemix sebagai acuan untuk menetapkan standar biaya pelayanan kesehatan. Casemix adalah pengelompokan diagnosis penyakit yang dikaitkan dengan biaya perawatan dimana satu kelompok biaya mencakup penyakit yang memiliki ciri klinis yang sama dan menggunakan sumber daya/biaya perawatan yang cenderung sama. Sistem ini dikembangkan untuk sistem pembayaran paket prospektif rumah sakit yang memberikan pelayanan JKN dan berbasis pada real cost dari rumah sakit terpilih. Struktur tarif diupayakan stabil, sederhana, berbasis pada jenis pelayanan, dan dapat terus di-update yang mengacu pada perbaikan biaya rumah sakit. Alangkah baiknya jika penetapan porsi dana subsidi bagi PBI mengacu seluruhnya pada standard biaya INA CBG, karena standar biaya inilah yang mampu menggambarkan biaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara tepat. Subsidi dana bagi iuran PBI sebesar Rp19,932 triliun memiliki porsi hanya sebesar 1,09% dari total alokasi belanja negara untuk tahun 2014 sebesar Rp1.816,7 triliun. Jika besaran subsidi bagi PBI ini kita naikkan sebesar 15% saja, maka dana yang tersedia bagi setiap PBI adalah kurang lebih Rp22.000 per orangnya dengan total beban anggaran menjadi Rp22,921 triliun. Tentunya anggaran yang telah ditetapkan oleh pemerintah telah melalui kajian yang matang, namun tidak menutup kemungkinan besaran dana PBI yang tercantum dalam RAPBN 2014 akan berubah dalam RAPBN-P 2014 yang  akan ditetapkan oleh pemerintah. Masukan, kajian, dan perhitungan yang matang yang bersumber dari berbagai pihak akan menjadi pertimbangan pemerintah untuk menaikkan besaran iuran PBI atau tetap pada jumlah yang sama sebelumnya sebesar Rp19.225 per orangnya.

Masalah Umum BPJS Kesehatan terhadap Rumah Sakit Swasta

Asosiasi RS Swasta Indonesia (ARSI) terus berbenah untuk turut berpartisipasi menyukseskan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Ketua ARSI periode 2014-2017, drg Sjahrul Amri, MHA, mengatakan, sedikitnya terdapat empat poin yang masih dikeluhkan oleh RS swasta
Pertama, belum adanya standar clinical pathway atau pedoman SOP dan Standar Pelayanan Medis (SPM) setiap dokter di rumah sakit, membuat terjadinya benturan di lapangan. Antara dokter dan manajemen RS pun berbeda.
Clinical Pathways merupakan suatu konsep perencanaan pelayanan terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien berdasarkan standar pelayanan medis dan asuhan keperawatan yang berbasis bukti dengan hasil yang terukur dan dalam jangka waktu tertentu selama di rumah sakit.
Clinical Pathways menjadi salah satu komponen dari Sistem DRG-Casemix yang terdiri dari kodefikasi penyakit dan prosedur tindakan (ICD 10 dan ICD 9-CM) dan perhitungan biaya (baik secara top down costing atau activity based costing maupun kombinasi keduanya). Implementasi Clinical Pathways berkaitan erat dengan Clinical Governance dalam hubungannya menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan dengan biaya yang dapat diestimasikan dan terjangkau.
Clinical Pathway adalah alur suatu proses kegiatan pelayanan pasien yang spesifik untuk suatu penyakit atau tindakan tertentu, mulai dari pasien masuk sampai pasien pulang, yang merupakan integrasi dari pelayanan medis, pelayanan keperawatan, pelayanan farmasi dan pelayanan kesehatan lainnya. Clinical Pathway bukan merupakan clinical Guidelines atau protocal, karena setiap kasus dalam clinical pathway dibuat berdasarkan standar prosedur dari setiap profesi yang mengacu pada standar pelayanan dari profesi masing-masing, disesuaikan dengan strata sarana pelayanan rumah sakit. Clinical Patway dapat digunakan untuk prediksi lama hari dirawat dan biaya pelayanan kesehatan yang dibutuhkan sehingga dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya rumah sakit.
Penyusunan Clinical Pathway dan perhitungan cost of care untuk kasusu kasus yang sering terjadi sangat diperlukan untuk pengendalian mutu dan biaya rumah sakit mengingat standar Akreditasi International Rumah Sakit berdasarkan Joint Commission International (JCI) yang diadopsi oleh komisi akreditasi Rumah sakit (KARS) mensyaratkan agar Rumah Sakit menyusun setidaknya 5 Clinical Pathway setiap bulan.Oleh karena itu perlu pemahaman khusus dalam penyusunan clinical pathway sehingga rumah sakit dapat menghitung biaya pelayanan kesehatan dari masing masing clinical pathway berdasarkan perhitungan unit cost yang telah dimiliki oleh RS dan membandingkannya dengan tarif INA-CBG.
Kedua, paket tarif INA-CBG's membuat posisi tawar dokter menjadi sulit. Apalagi banyak di RS swasta bukan dokter tetap, meskipun sudah MoU soal BPJS.
Ketiga, Amri menyebutkan masalah harga obat dan kepastian distribusi obat. Sistem kapitasi membuat pasien yang semestinya harus dirawat lima hari, karena tarif terlalu murah, sehingga dalam waktu tiga hari pasien selesai dirawat atau dibebankan dengan sistem cost sharing
Keempat, tarif RS swasta dan pemerintah sama, kalau lihat SDM-nya, RS pemerintah digaji pemerintah, RS swasta digaji secara mandiri.

Strategi Rumah Sakit Di Era Bpjs

Dalam menghadapi era BPJS tidaklah mudah, terlebih untuk rumah sakit, perlu Pemikiran, strategi, pengertian, kesepahaman dan kesepakatan bersama diseluruh internal rumah sakit, baik itu Dokter, Staf Perawat, Staf umum dan Manajemen. Jika tidak cermat dan hati-hati cerita tentang lonjakan pasien rumah sakit namun malah merugi akan menjadi rangkaian cerita ironi. Dari itulah perlu langkah-langkah strategic dan taktik yang baik dalam melaksanakan kebijakan JKN.
Hal pertama yang harus dirubah rumus dan pola pelayanan BPJS adalah merubah dari Fee For Servicess menjadi INA CBG, penjelasannya adalah Fee For Services : Cost + Profit = Price  jika sebelumnya kita membuat tariff rumah sakit itu dengan Biaya ditambah Keuntungan sama dengan Tarif Rumah Sakit, pada saat era JKN hal ini tepat lagi dilakukan dan sebaiknya merubah rumusnya dengan tariff - Cost = Profit maksudnya adalah tariff rumah sakit dikurangi Biaya sama dengan Keuntungan rumah sakit, strategi inilah yang digunakan oleh RS An-Nisa Tangerang dibawah Kepemimpinan dr. Ediansyah MARS yang disampaikan pada saat Kongres PERSI 2015 di JCC Jakarta.
Strategi Fungsional

Berbicara Bisnis Strategi tentunya harus didukung dengan Fungsional Strategi. Strategi fungsional Apa yang harus disiapkan ?
Strategi Sumber Daya Manusia
Pengetahuan manajemen dalam rangka menjalan rumah sakit sangatlah penting, kemampuan dan keahlian dari sumber daya manusia yang menduduki fungsi masing-masing menjadi factor utama. Usahakan jangan sampai salah melakukan penetapan sumberdaya mansusia dimasing-masing bagian. Terutama para manager yang secara teknis harus memahami dan menguasai pekerjaan mereka.

·    Strategi Operasional
Strategi operasional terkait dengan operasional yang ramping, struktur manajemen yang tidak terlalu lebar rentang kendalinya, sehingga bisa lebih efektif. Suplay chain management menjadi penting sehingga efisien dan efektifitas bisa terwujud dan akibatnya adalah kendali biaya bisa diwujudkan dengan baik.

·    Strategi Pemasaran
Apakah di era BPJS peran marketing atau pemasaran hilang ? menurut penulis tidak! Peran pemasaran tidak hanya mempromosikan, mengajak dan memastikan orang untuk memutuskan berobat di rumah sakit melainkan masih banyak tugas dan tanggungjawabnya salah satunya adalah memastikan pelayanan dan kepuasan pelanggan terpenuhi. Mampu secara responsive terhadap keluhan dan complain pasien. Terus menerus memberikan informasi, promosi kesehatan dan bimbingan kepada masyarakat. Selain itu harus mampu menarik informasi dari luar untuk memberikan masukan kepada manajemen dengan tujuan membangun pelayanan yang bermutu kepada pasien.

·    Strategi Keuangan
Strategi keuangan pada tiap bisnis mungkin berbeda, namun intinya sama, seluruh bisnis tidak terkecuali rumah sakit tentu ingin mendapatkan profit, keuntungan dari usaha yang dijalankannya. Namun ada hal yang paling pundamental dari bisnis rumah sakit ini adalah strategi keuangan harus mampu melakukan kendali keuangan rumah sakit. Kendali keuangan rumah sakit menjadi penting karena berkaitan dengan operasional dan keberlangsungan hidup rumah sakit itu sendiri. Manajer keuangan ditingkat fungsional harus mampu menjadi filtering awal dan mampu menganalisa kebutuhan prioritas rumah sakit. Mampu membuat laporan keuangan sesuai dengan kaidah keuangan yang benar.


Kepemimpinan Transformasi Bisnis
Setelah menentukan Strategi bisnis dan menentukan model bisnis hal yang paling penting adalah peran Pimpinan dalam menjalankan bisnis rumah sakit. Perubahan kebijakan yang sangat cepat perlu pemimpin yang kuat, baik secara pribadi, analisa bisnis dalam mengambil keputusan. Sebaik apapun strategi yang dibuat, sehebat apapun sumber daya manusia yang dimiliki tanpa pimpinan yang kuat itu semua tidak akan menjadi apa-apa. Pimpinan yang memiliki visi dan misi serta konsisten pada keputusan strateginya akan lebih mudah melalui trubulensi perubahan. Arahan, pembinaan dan komunikasi yang terjaga akan membangun tim yang handal dan mampu melihat dampak resiko bisnis dengan baik, mencipatakan budaya organisasi yang optimis. Dengan demikian phenomena tentang BPJS akan bisa diterima bahkan bisa membawa rumah sakit tumbuh dan berkembang.













4.      KESIMPULAN

4.1. Kesimpulan

            Dalam menyelesaikan beberapa masalah penyelenggaraan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan di Indonesia. Di perlukan berbagai cara sebagai solusi penyelesaian berbagai masalah yang ada saat ini. Peran dari pihak internal yaitu pihak manajemen dan eksternal BPJS pemerintah dan berbagai mitra BPJS yaitu Rumah Sakit. Pihak – pihak ini harus yang berkontribusi dan tidak hanya satu pihak. Amanat BPJS diharapkan bukan hanya sekedar baik dalam hal teknisnya saja, melainan juga pada penerapannya dilapangan. Seperti diketahui bahwa permasalahan yang dihadapi di Indonesia yang paling menonjol adalah dalam setiap penerapan kebijakannya tidak dapat berjalan dengan baik, bahkan bisa saja kebijakan tersebut justru dimanfaatkan oleh oknum untuk memperoleh keuntngan pribadi. Serta, yang terjadi saat ini bagi masyarakat yang mendapat ASKES tidaklah mendapat pelayanan yang selayaknya, seperti mereka yang membayar secara tunai. Akan tetapi, setidaknya kebijakan tentang penerapan UU BPJS tersebut secara umum merupakan sebuah prestasi tersendiri bagi bangsa Indonesia terhadap upaya peningkatan mutu kehidupan masyarakat. Diharapkan dengan adanya UU BPJS ini maka masyarakat menjadi terjamin dalam kehidupan sosialnya.
 
DAFTAR PUSTAKA

Agus Prawoto, 1995, Hukum Asuransi Dan Kesehatan Perusahaan Asuransi
Berdasarkan Risk Base Capital, (RBC). BPFE, Yogyakarta
Bazzarello, D., Crielaard, B., Piacenza, F. and Soprano, A. 2006. Modeling Insurance
Mitigation on Operational Risk Capital. Journal of Operationl Risk. 1(1). pp. 57-65.
Cheyne, Christine, Mike O’Brien dan Michael Belgrave. 1998. Social Policy in
Aotearoa New Nealand: A Critical Introduction, Auckland: Oxford University Press.
Hanafi, M. 2006. Manajemen Risiko. Yogyakarta: UPP STIM YKPM
MHLW . Ministry of Health, Labour and Welfare of Japan. 1999, Annual Report on
Health and Welfare, Tokyo: MHLW.
Robert I. Merh and Bob A Hedges, 1963, Risk Management in the Bussiness Enter prise

Siahaan, H. 2007. Manajemen Risiko: Konsep, Kasus, dan Implementasi. Jakarta: PT.

Elex  Media Komputindo

Suharto, Edi. 1997. Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum
Pemikiran, Bandung: Lembaga Studi Pembangunan STKS (LSP-STKS). 

Ayu. 2015. Sistem BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan Dianggap Belum Siap.

               http://www2.jawapos.com/baca/artikel/16380/sistem-bpjs-ketenagakerjaan-dan-kesehatan-dianggap-belum-siap. Diakses 10 Juni 2016.
Firmansyah, Teguh. 2016. Akar Permasalahan BPJS Kesehatan. http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/03/11/o3u2hh377-akar-masalah-bpjs-kesehatan. Diakses 10 Juni 2016.
 
Republik Indonesia. 2011. Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Lembaran Negara RI Tahun 2011, No. 116. Sekretariat Negara. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar